5 September 2017
"Sebenarnya, aku ingin sekali membahas ini esok lusa, hari terakhir sebelum aku meninggalkan Jogja..
tapi ternyata, perempuan disebelahku ini nggak sabaran" Ia melirikku mengejek, seraya memberikan segelas coffee jelly float kesukaanku.
Meski bukan siang, tawa kami perlahan pecah ditemani gelap malam, dengan mobil menyusuri tiap-tiap sisi kota, mas Dion membuka percakapan, menjelaskan tentang seberapa baik dan betapa tak bisa diukur keburukanku, Rin, keluhnya.
"Hanya tinggal bagaimana aku bisa menerima masa lalu mas, kan?"
"Jika kau mau"
"Bagaimana kalau mas mendengar sedikit tentang keburukanku?"
"Kalau saja kau berkenan"
Aku mengangguk atas wajahnya yang penuh harapan,
"Meski tak sebanyak mas, pun aku juga tak dapat memelihara nafsuku dengan baik"
Setelah menarik nafas panjang, aku melanjutkan, "Aku pernah termakan buaian, dipaksa memberikan kehormatanku, dengan nafsu yang disalahartikan menjadi cinta..
Tak hanya satu, lelaki setelahnya pun begitu, Mas. Dua, tak lebih dan tak kurang."
Ia menatap mataku dalam-dalam,
"Kehormatan perempuan, tak lagi dapat diukur hanya dari sekedar itu. All women have vaginas, but i have chosen you" Wajahnya yang terang tersorot lampu kendaraan dari arah berlawanan itu langsung saja menangkap mataku yang sedari tadi memandanginya.
"Tentang kekasih terakhir mas?"
"Sudah berlalu, aku dibuat hancur karenanya"
Mataku menyipit, seolah bertanya mengenai cerita yang sebenarnya
"Setelah dua tahun segalanya berjalan dengan baik, ia mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan produsen video game populer di ibukota, saat usia kami masih sama-sama tujuh belas. Sampai pada ketika ia menemuiku di perantauan studi, aku yang selalu menanti akan perjumpaan itu, harus menelan sendiri kejadian pahit yang ternyata selama ini ia sembunyikan. Aku menahan hatiku untuk tak bermain-main, menjaga perasaanku demi perasaan yang lain, namun ia membagi cintanya untuk lelaki yang dianggap lebih sempurna.
Aku hancur, untuk pertama kalinya aku menghisap ganja, melukis tubuhku dengan rajah.."
"Yang ada di tengkuk?"
Ia mengangguk dengan yakin "Ya, walaupun tak penuh karenanya, tapi ia lah sebab dari segala hal buruk yang aku lalui"
"Mas masih cinta?"
Mas Dion dengan tanpa keraguan menggelengkan kepalanya,
"Setelah sakit yang lalu. Tak pernah ada perempuan yang aku cinta selain ibu. Dan ketika aku menemukanmu, salahkah aku jika tak ingin ada perempuan lain lagi dalam hidupku?"
Aku memainkan jari-jari diujung lutut. Waktu terus berlalu, malam semakin gelap, pagi telah menjadi. Pukul dua dini hari, ditengah percakapan kami, ia memastikan lagi
"Perempuan yang ada dihadapanku ini masih berjuang, dan akupun sama"
"Lalu?"
"Akan lebih mudah kalau kita bersama-sama, Rin"
matanya berbinar lebih terang ketimbang bulan yang kini purnama
"Rin?"
"Iya, Mas?"
"Aku turun sebentar ya, beli rokok" Ia tersenyum lebar dengan menunjukan giginya,
"Hih! Yaudah, sana"
Mas Dion kembali masih dengan pertanyaan yang sama, bedanya, kini ia bisa sedikit meredakan detak jantungnya lewat benda mati dengan bara dan asap yang seringkali membuatku batuk-batuk dan mual, tapi lebih banyak orang yang menggemarinya, entah mangapa.
Meski banyak sekali pertimbangan dan pertanyaan, aku tau, tak semua ketidaktahuan harus mendapat jawabnya sekarang.
Maka aku mengangguk, mengiyakan apa yang sedaritadi Mas Dion minta.
Dengan agak gugup, ia memberiku satu lagi pertanyaan,
"Boleh aku peluk?"
Aku membuka tangan, ia memelukku erat sekali, sampai tak sengaja aku melihat kesungguhan hatinya, hingga aku meminta pada Tuhan agar ia tetap seperti ini;
Ayah pernah bilang, karena sebaik-baiknya lelaki, bukan ketika ia menyatakan cintanya padamu. Tapi bagaimana ia memperlakukanmu setelah lamarannya kau terima.
YOU ARE READING
Lib - BRACHIUM
Romantiki hope, with every bone, in my body, that it will be us, in the end