BAGIAN 1

1.1K 31 0
                                    

Tidak ada suara yang lebih indah daripada suara alam. Terlebih lagi suara deburan ombak yang menghantam batu-batu karang di pantai. Begitu indahnya, hingga membuat seorang pemuda berbaju rompi putih termangu. Dia berdiri di atas sebuah batu karang yang cukup tinggi, dan menjorok ke tengah laut.
Tanpa berkedip, kedua matanya memandang lurus ke arah sepasang burung camar putih yang bermain-main lincah. Di antara gulungan ombak. Suara jerit sepasang burung camar itu bagaikan nyanyian alam sehingga menambah indahnya suasana siang hari yang panas ini. Seringkali pemuda itu tersenyum manakala melihat sepasang burung camar itu sating memperebutkan ikan yang berhasil diperoleh salah seekor pasangannya.
"Hhh.... Seandainya setiap manusia bisa bebas seperti camar itu...," terdengar desahan halus, hampir tidak terdengar di telinga.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memalingkan mukanya ketika mendengar ayunan kaki yang ringan dari arah belakang. Tampak seorang gadis bertubuh ramping tengah berjalan menghampirinya. Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tidak tergesa-gesa. Wajahnya cantik sekali. Kulitnya putih, dan begitu pas dengan baju ketat berwarna biru langit yang dipakainya. Sehelai sabuk kuning keemasan melilit pinggangnya. Sedangkan sebuah kipas putih keperakan terselip di sabuk itu. Gadis itu berhenti berjalan tepat di dekat batu karang yang sangat besar menjorok ke tengah laut.
"Sampai kapan kau akan tetap di sana, Kakang?" tanya gadis itu agak berteriak. Bahkan membuat sepasang burung camar yang tengah bercanda jadi terkejut.
"Hup!" Ringan sekali gerakan pemuda berbaju rompi putih itu saat melompat dari atas batu karang. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali di depan gadis berbaju biru. Sedikit pun tidak terdengar suara saat sepasang kakinya menjejak pasir pantai yang putih dan basah. Dia tersenyum, lalu mengayunkan kakinya tanpa berkata-kata lagi. Gadis cantik berbaju biru itu mengikuti. Langkahnya langsung disejajarkan di samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kapan kita sampai di Karang Setra, Kakang?" Tanya gadis cantik berbaju biru itu.
"Tidak lama lagi," sahut pemuda berbaju rompi putih.
"Rasanya aku sudah kangen, ingin berkumpul lagi bersama Cempaka dan Danupaksi."
Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga, hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis di sampingnya yang dikenal bernama Pandan Wangi atau berjuluk si Kipas Maut, terus berjalan. Pandangannya nampak lurus ke depan. Mereka berjalan berdampingan menyusuri pantai berpasir putih yang selalu dibasahi air laut. Beberapa kali lidah ombak menjilati kaki mereka.
"Kakang...," terdengar manja suara Pandan Wangi.
Gadis itu memeluk lengan Rangga. Sikapnya memang manja sekali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mendiamkan saja. Dia bergumam sedikit dan terus melangkah tanpa memalingkan muka sedikit pun juga. Dalam beberapa hari ini, gadis itu sudah merasa kalau sikap Rangga agak lain. Pendekar Rajawali Sakti lebih sering murung, dan tidak lagi banyak bicara. Dari sikapnya itu, Pandan Wangi sudah bisa meraba kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Rangga.
"Ada apa, Pandan?" Tanya Rangga yang menunggu lama. Tapi, Pandan Wangi masih diam saja memandangi wajah tampan di sampingnya ini.
"Kenapa Kakang seperti tidak ingin kembali ke Karang Setra?" tanya Pandan Wangi, bernada ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak ingin kembali ke Karang Setra. Tanah kelahirannya memang selalu ditinggalkan, karena itu adalah tuntutan jiwa kependekarannya. Hanya saja, semakin dekat dengan Kerajaan Karang Setra, hatinya semakin gelisah saja. Dia sendiri tidak tahu, apa penyebab semua itu. Tidak biasanya Rangga mempunyai perasaan begini. Biasanya, setiap tempat yang akan disinggahinya selalu dianggap sama. Dan tentu saja memiliki persoalan yang menuntutnya untuk diselesaikan. Dan memang selama ini, tidak pernah ada keluhan. Tugasnya sebagai seorang pendekar, memang harus membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Tidak peduli, apakah itu orang berpangkat, atau rakyat jelata.
Ayunan langkah mereka terhenti ketika dari arah depan teriihat debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sementara bumi yang dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa. Suara gemuruh deburan ombak, mulai terganggu oleh deru angin kencang disertai menggemuruhnya suara bagaikan bebatuan berjatuhan dari atas bukit. Belum lagi ada yang sempat berpikir lebih jauh, mendadak saja....
"Pandan, awas...!" seru Rangga keras dan tiba-tiba sekali.
"Hup! Yeaaah...!"
Tubuh Rangga cepat melenting sambil memberi perintah pada Pandan Wangi, tepat di saat gumpalan debu bersama tiupan angin badai melanda ke arah mereka. Pandan Wangi yang tidak cepat menyadari terlambat untuk menghindar.
"Aaa. .!"
"Pandan...!"
Rangga terkejut bukan main, melihat Pandan Wangi tergulung gumpalan debu yang terus bergerak cepat disertai hembusan angin kencang dan suara gemuruh. Tubuh Pandan Wangi kini seperti lenyap tertelan gumpalan debu bagai bola raksasa itu.
"Hap! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat Rangga berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar Pandan Wangi yang lenyap tergulung gumpalan debu itu. Namun belum jauh Rangga bertindak mengejar, mendadak saja gumpalan debu bagai bola raksasa itu menghilang. Dan ternyata, Pandan Wangi juga turut lenyap bersamaan dengan lenyapnya gumpalan debu itu. Rangga menghentikan pengejarannya, tepat di tempat gumpalan bola debu raksasa tadi menghilang.
"Heh...! Ke mana dia...?"
Rangga jadi kebingungan sendiri. Pandangannya beredar ke sekeliling, namun tidak ada yang dapat dilihat lagi. Keadaan di tepian pantai ini kembali tenang. Hanya deburan ombak dan teriakan burung camar saja yang terdengar saling bersahutan. Tidak ada lagi suara bergemuruh bagai badai. Tidak ada lagi gulungan debu serta angin topan yang menjalar. Bahkan Pandan Wangi juga tidak nampak di sekitar tepian pantai ini. Rangga benar-benar tidak bisa memahami kejadian yang baru saja dialaminya ini. Dia tidak tahu, dari mana datangnya, dan kemana lenyapnya gumpalan debu yang membawa Pandan Wangi pergi.
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba tempat yang dipijaknya bergetar hebat Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, mendadak....
Glarr...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, ketika tiba-tiba saja tempat yang dipijaknya terbongkar bersama ledakan dahsyat menggelegar. Debu dan pasir berhamburan ke udara, membentuk jamur raksasa. Beberapa kali Rangga ber-jumpalitan di udara, sebelum mendarat manis sekali di tempat yang cukup jauh dan aman.
Debu masih teriihat mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Rangga sampai terpana menyak-sikan debu dan pasir membentuk jamur raksasa. Begitu indah, namun tersembunyi kedahsyatan yang mengerikan. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat melompat ke udara, pasti tubuhnya bakal hancur bersama debu dan pasir itu tadi. Perlahan namun pasti, debu dan pasir itu menyebar tertiup angin. Tampak sebuah lubang yang sangat besar menganga sekitar tiga batang tombak didepan Rangga.
"Hm...." Rangga mengerutkan kening ketika melihat ke dalam lubang yang menganga lebar di depannya. Di dalam lubang itu terdapat undakan tangga yang menuju ke dalam tanah. Yang membuat kening Pendekar Rajawali Sakti semakin dalam berkerut, undakan tanah itu seperti terbuat dari batangan emas. Kuning berkilat tertimpa teriknya cahaya matahari.
Perlahan Rangga mendekati lubang itu. Dan keningnya semakin berkerut dalam. Ternyata undakan tangga kuning keemasan itu menuju sebuah pintu yang sangat besar, dan berdaun pintu dari besi baja putih berkilat. Pintu itu terbuka lebar, seakan-akan mempersilakan Pendekar Rajawali Sakti untuk masuk kesana. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu tertegun memandangi ke arah pintu di dalam lubang besar di depannya ini.
"Masuklah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Heh...?!" Rangga terlonjak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara menggema. Suara itu demikian jelas, seakan-akan berada dekat di telinganya. Rangga terlompat mundur dua tindak. Pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tepian pantai ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangan ke dalam lubang. Pintu di dalam lubang itu masih tetap terbuka lebar.
"Masuklah, Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema.
"Hm..., siapa kau?" Tanya Rangga. Sikapnya penuh kewaspadaan.
"Kau akan tahu jika sudah berada di dalam istanaku," sahut suara itu lagi.
Rangga terdiam. Sebentar otaknya berputar untuk menuruti suara yang terdengar tanpa ujud itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati lubang itu. Satu undakan tangga kuning keemasan dipijaknya. Perlahan kakinya bergerak menuruni undakan tangga berjumlah tujuh buah itu satu persatu. Rangga berhenti sebentar setelah sampai didepan pintu besi baja putih berkilat.
Keadaan di balik pintu ini begitu gelap, tanpa ada cahaya sedikit pun yang menerangi. Perlahan Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu yang sangat besar ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Karena begitu berada di dalam, mendadak saja pintu itu cepat bergerak menutup. Suasana di dalam begitu gelap, sampai-sampai untuk melihat tangan sendiri tidak bisa.
"Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra', terdengar derit daun pintu yang bergerak membuka. Tampak seberkas cahaya menyilaukan bergerak perlahan dari arah depan. Cahaya yang begitu terang dan semakin membesar itu sangat menyilaukan mata. Rangga menyipitkan matanya sedikit. Sebentar diamati sekitarnya. Ternyata dia berada dalam sebuah gua yang berlorong amat panjang. Namun gua ini sekarang begitu terang, seperti berada di luar sana.
"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini, Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema bernada berat.
"Hm...," Rangga bergumam. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya menyusuri lorong yang cukup besar dan panjang ini. Sebuah lorong lurus, tanpa ada belokan sedikit pun. Rangga merasa kalau lorong ini terus menurun. Jalan yang dilalui tidak bisa terlihat, karena tertutup kabut tebal hingga sebatas lutut Perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti berjalan dengan mata tajam mengamati sekelilingnya.
"Hm.... Sepertinya, lorong ini tidak pernah ada habisnya," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan perlahan-lahan. Dan memang, lorong ini seperti tidak berujung. Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ke belakang. Agak terkejut juga dia. Karena setiap tempat yang dilewati, selalu tertutup kabut tebal, sehingga tidak bisa lagi melihat tempat asal masuk tadi. Namun anehnya, hawa di sini begitu hangat Padahal tidak ada sinar matahari. Dan cahaya yang menerangi juga berasal dari batu-batu dinding, dan langit-langit lorong ini.
"Tempat apa ini..?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Entah sudah berapa lama Rangga berjalan, tapi belum juga menemukan ujung lorong yang berkabut tebal ini. Semakin jauh berjalan, semakin terasa kalau jalan yang dilaluinya terus menurun. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus saja mengayunkan kakinya. Setiap tempat yang dilangkahi selalu diamatinya. Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk menarik. Yang teriihat hanya gumpalan kabut tebal, dengan bebatuan memancarkan sinar terang bagai matahari.
"Berbeloklah ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar lagi suara berat menggema dekat telinga Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar ke arah kanan, lalu kembali berjalan perlahan-Iahan mengikuti petunjuk suara yang didengarnya. Rasa penasaran semakin menebal menguasai dirinya untuk mengetahui sumber suara itu. Pendekar Rajawali Sakti jadi melupakan Pandan Wangi yang menghilang terbawa gumpalan debu yang datang tiba-tiba di tepi pantai tadi. Entah kenapa, suara dan tempat ini seakan-akan menguasai seluruh alam jiwa dan raga Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, Rangga masih merasakan kalau kesadarannya tetap seperti biasa, tak terganggu sedikit pun.
"Masuklah ke pintu yang berada di tengah."
Rangga menatap pintu paling tengah di depannya. Ada lima buah pintu yang bentuk dan ukurannya sama persis. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam, kemudian langkahnya terayun menuju pintu paling tengah.
Ayunan langkahnya kembali terhenti di depan pintu. Sebentar diamatinya bagian dalam pintu di depannya. Begitu gelap, seperti pertama kali masuk ke dalam lorong ini. Kemudian Rangga mengamati pintu-pintu lain yang bentuk dan ukurannya sama persis. Perlahan kakinya kembali terayun memasuki pintu itu.
Aneh...! Begitu kakinya melewati pintu, keadaan di dalam menjadi terang benderang. Rangga berdecak, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Dia seperti berada dalam sebuah taman surga yang begitu indah tak ada bandingnya. Pendekar Rajawali Sakti berdiri terpaku memandangi "sekitamya sambil beberapa kali berdecak kagum.
Sungguh....! Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti melihat alam begitu indah, bagai taman Swargaloka yang khusus diperuntukkan bagi dewa. Begitu mudahnya, sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata seindah apa pun juga. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti kemudian tertuju pada sebuah bangunan berbentuk istana kecil yang memancarkan cahaya kuning keemasan.
"Selamat datang di taman istanaku, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Oh...?!" Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar tubuhnya. Dia semakin terkejut begitu melihat seorang laki-laki yang sebaya dengannya tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh darinya. Di belakang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus bagai kulit seorang gadis remaja itu berdiri berjajar gadis-gadis cantik mengenakan kemben sebatas dada. Mereka seperti sengaja memperlihatkan bagian kulit bahu dan sebagian dada atas yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun.
Di samping kanan dan kiri pemuda tampan berpakaian indah itu, berdiri dua orang laki-laki tua berjubah putih dan dua orang perempuan tua yang juga mengenakan jubah putih. Mereka semua memegang tongkat kayu hitam berlekuk yang pada bagian kepala berbentuk bulat seperti telur angsa. Pemuda itu melangkah perlahan mendekati Rangga.
"Maaf, jika cara mengundang kami kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ucap pemuda tampan itu.
Suaranya terdengar lembut, namun sangat besar dan berat Bahkan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya masih diliputi kekaguman yang amat sangat terhadap keadaan di tempat ini. Demikian pula orang-orangnya, serta pakaian yang dikenakan. Bagi Pendekar Rajawali Sakti hal ini sangat aneh. Mereka berpakaian seperti layaknya para dewa dewi di kahyangan. Apakah dia berada di Swargaloka....? Rangga cepat menghilangkan pikiran seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu.
"Mari..., sebaiknya kita bicara di dalam," ajak pemuda itu ramah.
Rangga tak dapat menolak ajakan yang ramah ini, meskipun hati dan pikirannya saat ini dipenuhi segudang pertanyaan dan keheranan tentang semua yang dialaminya. Dia belum mengerti, untuk apa manusia-manusia aneh ini mengundangnya ke sini? Dan lagi..... Dimana sekarang Pandan Wangi berada? Rangga jadi teringat Pandan Wangi. Dan baru kali ini dia teringat kekasihnya itu. Tapi pada saat seperti ini, rasanya tidak layak bertanya. Terlebih lagi, sikap orang-orang di sini begitu ramah, seperti menyambut seorang tamu agung yang sudah lama dinantinantikan.
Rangga terpaksa memendam rasa keingintahuannya yang mulai menggejolak dalam dada. Diikutinya saja pemuda tampan berpakaian indah dan aneh ini, menuju ke bangunan istana kecil yang seluruh dindingnya berwarna kuning keemasan. Di belatang mereka, tampak mengikuti dua orang laki-laki tua dan dua orang perempuan tua berjubah putih, serta dua puluh gadis cantik berkemben sebatas dada.

***

51. Pendekar Rajawali Sakti : Tumbal Penguasa SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang