Chapter 2: Kala Bersua

4 3 0
                                    

Mata kuliah terakhir selesai, raut kusut Rima bisa dilukiskan bagai sebuah kota yang terkena bencana, semerawut dan acak-acakan. 

Sebuah kedai es krim menjadi wadah Rima membuang penatnya. Kali ini Rima milih es krim cokelat kesukaannya sebagai penghilang stres. Sebuah cone es krim mengingatkannya kembali pada Dia, hal-hal kecil dari Dia yang selalu terputar di otak Rima. Rima benar-benar dibuai rindu pada Dia, seketika saja relung hatinya seakan ada yang tertahan, Rima ingin meluapkannya namun ia tak tahu harus bagaimana. Tubuhnya terlalu bodoh untuk melakukan apa yang diinginkan relung hatinya.

"Hai, Rima" Anggia melambaikan tangannya pada Rima.

Rima mengunyah cone es krim terakhirnya "kamu dari mana?" Rima menanya Anggia lebih dulu, padahal tadi Anggialah yang ribut dan antusias memanggil Rima.

Rima memasukkan jari tangan ke mulutnya, satu per satu ia habiskan sisa-sisa es krim di tangannya, sisa-sisa es krim yang mengotori jari Rima tak pernah ia biarkan. Rima benar-benar penggila berat es krim, entahlah karena memang ia menikmati rasanya atau hanya menikmati kenangannya "kamu itu yaa, apa gunanya penjual es krim memberikan tisu padamu jika ujung-ujungnya tisu itu kamu buang dan kamu justru menikmati jarimu itu"

Rima tersenyum "aku tahu kamu akan bilang jorok"

"Memang itu nyatanya"

Rima bangkit dari duduknya, mencuci tangannya di wastafel dekat meja makannya. Ya, itulah mengapa Anggia tahu kemana Rima berada. Jika tidak di perpustakaan, di taman, pasti di sebuah meja makan dekat wastafel dalam sebuah kedai es krim "kalau begitu jangan lihat" balas Rima dengan tampang meledeknya. Rima memang bukan tipekal orang yang suka menggunakan tisu setelah makan, ia tergolong orang Asia, yang segala sesuatunya harus dibersihkan dengan air.

"Lalu daripada kamu buang, kenapa tidak kamu balikkan saja ke penjualnya?"

"Itu bonus dari penjual untukku, rejeki itu tidak bisa kutolak" Berteman dengan Rima memang membutuhkan kesabaran, Anggia sendiri selalu di kalahkan oleh argumen Rima yang aneh "terserah" jawab Anggia yang dibalas kekehan oleh Rima yang tengah duduk di hadapan Anggia saat ini.

"Kenapa?" Tanya Rima.

Anggia mengerutkan keningnya "apa?"

"Tadi kamu memanggilku semangat sekali" Selain argumen Rima yang aneh, Rima sangat irit bicara. Tak jarang ia bisa menimbulkan salah paham karena jawabannya ataupun pertanyaannya yang terpenggal.

Anggia memutarkan kedua bola matanya "kamu memiliki pasangan?"

Rima pun membolakkan matanya, ia terkejut. Apa perlunya Anggia menanyakan itu, bukankah Anggia tahu siapa yang selama ini Rima tunggu?

"Maksudku pasangan dari fakultas lain" Lanjut Anggia, Anggia tahu kemana larinya pikiran Rima. Walau raga Rima ada di hadapan Anggia, tapi nyawa Rima seakan tak bersamanya, bahkan otaknya saja hanya berisi tentang Dia. Sama seperti DVD rusak yang kuno.

Rima menyernyit "aku gak tahu"

"Oke, dari hasil riset yang kudapatkan setelah beberapa tahun menjadi rekanmu, maka berdasarkan ekspresi yang bingung namun jawaban tak tahu, menandakan bahwa kamu memang belum tahu apapun"

"Good" balas Rima seraya mengudarakan jempolnya.

"Anak-anak jurusan kedokteran mendapat tugas, semacam karya ilmiah yang harus mereka rampungkan dalam rentang waktu yang singkat"

"Hubungannya denganku?" Tanya Rima santai.

"Mereka mencari anak sastra untuk membantu mereka"

"Apa harus semua anak sastra?" Tanya Rima malas. Jujur saja, ia malas berkomunikasi dengan orang lain kecuali orang yang benar-benar bisa memahaminya.

Dia; Ketika Hukum Menegakkan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang