Chapter 3; Absurditas

5 3 0
                                    

"Kau, berapa usiamu?" Saat itu Kau sedang menonton Doraemon, kartun kesayangannya. Di temani dengan camilan singkong goreng yang menjadi kesukaannya, Kau tak sama sekali mengalihkan pandangannya.

"Nyaris 15? Mungkin, karena tak lama lagi akan lulus SMP. Bukankah kamu yang selalu mengingat hari ulang tahun? Kamu selalu suka perayaan." Jawaban Kau selalu membuat Dia tersenyum, gadis itu terlalu santai untuk menanggapi beberapa hal.

"Masih menonton kartun anak kecil? Perbedaan usia kita hanya satu tahun, jadi kalau aku dewasa maka pasti kamu juga dewasa"
Kau menghentikan aktivitas makannya, ia menatap dalam lelaki di hadapannya. Bisa Kau lihat, Dia dilanda kebosanan. Kau terkekeh, di satu sisi ia sadar. Ia terlalu egois jika mementingkan kesenangannya sendiri, jika Dia selalu mementingkan kebahagiaan Kau, maka Kau pun harus berlaku sebaliknya. Disini pun Kau sadar; manusia selalu timbal balik.

"Ini" Kau menyodorkan remote TV pada Dia, mmembuat Dia kebingungan dengan maksud gadis itu.

Dia menggerakkan dagunya, seakan mengisyaratkan kata "apa" dari dalam gerakannya.

"Ganti saja, aku bisa menontonnya lain waktu" Dia tersenyum mengetahui alasan Kau, ia berpikir bahwa Kau merajuk. Kau hanya gadis biasa yang bisa merajuk, namun ia benar-benar tak pandai dalam menunjukkan ekspresi.
Dia menggeleng "tonton saja" terlihat binar kebahagiaan di mata Kau mendengar ucapan Dia, Kau pun kembali memposisikan tubuhnya, agar lebih nyaman baginya.

"Kamu suka menonton TV?" Dia berusaha memecah keheningan kala itu.

"Ya, terutama kartun"

"Kenapa?" Entahlah, hari ini Dia banyak bertanya. Tapi Dia juga yakin, ada alasan dibalik sebuah jawaban dan ada jawaban di balik sebuah pertanyaan, entahlah, mungkin hanya dengan  itu ia bisa mendengar suara lembut Kau selain suara kunyahan mulutnya yang terdengar samar.

Kau menghela nafas, sebenarnya tak ada alasan lain lagi selain satu hal "hanya kartun yang mengerti keadaanku, mereka bisa membuatku tertawa bahkan kala hidupku yang di jalan kesedihan, mereka bisa membuatku merasakan keajaiban walau nyatanya sihir itu tidak ada, dan satu lagi, kartun televisi mengajarkanku, bahwa sesuatu yang pergi akan kembali lagi entah kapan waktunya"

Dia tersenyum, walau hatinya terasa sesak kini. Ia menahan kesedihannya, ia tahu seberapa berat hidup Kau, tapi ia lelaki yang tak mungkin lebih lemah dari wanita, ia harus jadi sandaran di kala wanita kesayangannya melemah "kalau gitu aku berjanji akan muncul di televisimu nanti"

Kau mengerutkan keningnya, wajahnya berubah menjadi kebingungan "bagaimana caranya?"

"Aku akan menjadi seorang bintang, aku akan muncul di setiap halaman berita, aku akan hadir di setiap layar kaca"

Kau ingin tertawa, tapi ia tak bisa menertawakan sebuah cita-cita mulia seorang manusia. Hak Dia sebagai manusia untuk bermimpi dan berharap setinggi-tingginya "alasannya?" Tak ada yang bisa Kau lakukan selain bertanya, setidaknya menetralisir nafasnya yang sesak menahan tawa.

"Sederhana.." Dia memegang bahu Kau, mengarahkan Kau benar-benar menatap matanya, menyandarkan kepala Kau pada dadanya agar gadis itu bisa terlelap dalam tidur siangnya "aku ingin menjadi cahaya dari setiap tawamu yang menghadapi kesedihan, aku ingin menjadi suatu keajaiban di antara ribuan sihir yang tak masuk di akal, aku ingin menjadi semangat ketika kamu menyerah di atas kemustahilan manusia namun ternyata ada kemungkinan bagi sang Esa"


Dia terdiam sejenak, ia membereskan anakan rambut di wajah Kau. Nafas teratur Kau menjadi pertanda bahwa ia telah berada dalam nyenyaknya alam mimpi.

Namun sesungguhnya tak semuanya Kau bawa masuk ke dalam alam mimpi. Telinganya masih mampu mendengar sayup-sayup kata "aku hanya ingin selalu dilihat olehmu"

Dia; Ketika Hukum Menegakkan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang