Chapter 4: Gelanggang Durjana

8 3 0
                                    

Rima dan buku.

Salah satu hal yang sulit dipisahkan di dunia ini.

Rima rela menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah hanya untuk bercumbu dengan buku, suatu hal yang cukup mengherankan di masa yang canggih ini. Namun bukan Rima jika ia menghiraukan kata orang. Rima adalah Rima. Kehidupannya adalah sesuatu hal yang ia sukai dan harus ia jalani, kira-kira begitulah prinsip Rima.

Sudah hampir satu jam Rima di perpustakaan, di tangannya sedang terbuka halaman-halaman novel Harry Potter karya penulis terkenal luar negeri, J.K. Rowling yang novelnya cukup tebal itu. Sesekali Rima menatap sekeliling. Keputusan Rima di perpustakaan memang untuk membaca buku, tapi sebenarnya ada hal lain juga yang ia tunggu.

Hari ini Awan dan Rima sepakat untuk membuat karya tulis, Rima ingin segera menyelesaikannya. Ia takut, semakin lama ia biarkan justru ia akan melupakan tanggung jawabnya. Namun sudah satu jam tak ada tanda-tanda kemunculan Awan, bahkan Rima sampai berkali-kali mengecek ponselnya, kalau-kalau Awan menelepon atau mungkin Rima yang salah membaca hari, tanggal, waktu dan tempat perjanjian mereka.

Di kepala Rima kini tengah membentuk pohon yang bercabang tiga. Satu ia gunakan untuk fokus pada novel dunia sihir di tangannya, satunya ia gunakan untuk memikirkan dimana Awan berada dan satunya lagi ia gunakan untuk keegoisannya yang ingin segera menyelesaikan karya ilmiah. Sayangnya Rima hanya manusia, yang tak bisa memecah pikirannya menjadi tiga dalam satu akal. Ia harus mengalahkan satu diantara ketiganya. Tentu saja, kefokusannya untuk membaca novel pun terkalahkan. Benar-benar hilang kefokusannya saat itu. Seorang Rima yang penuh hasrat dengan buku, harus mengurungkan hasratnya itu karena kehilangan nafsu.

Rima memutuskan untuk mengisi buku pengunjung perpustakaan, pergi meninggalkan perpus dan sejuta buku di dalamnya. Rima benar-benar harus mencari Awan. Ia sudah lelah menunggu di perpustakaan.

Rima yang pemalu dan penakut, justru ketika kesal ia akan membunuh sendiri semua rasa malu dan takutnya. Rima yang kesal dengan suasana asing dan sejuta pandangan yang terpusat pada Rima, harus Rima hadapi demi bertemu Awan. Siapa sangka jika seorang Rima berdiri di tengah orang-orang yang memiliki otak serta pengetahuan tinggi, berdiri di gedung fakultas kedokteran adalah kesalahannya.

Benar saja, sekarang Rima bingung harus apa. Ia hanya menatap sekitar dan berusaha mencari Awan di tengah keramaian gedung FK.

"Rima?"

"Jefri, hai" sapa Rima.

"Kamu.."

"Dimana Awan?" pertanyaan Rima membuat jantung Jefri berdetak cepat.

"Mau makan dulu?" alih Jefri.

"Jangan pernah mengalihkan sesuatu padaku" ucap Rima ketus.

"Dan lepaskan tanganmu" Rima melirik ke arah tangan Jefri yang secara reflek menggenggam tangan Rima.

Jefri melepaskan tangannya dari tangan Rima "maaf"

"Dimana Awan?" Tanya Rima sekali lagi

"Di langit"

"Hah?" Rima bingung, Jefri rupanya tidak hanya jago gombal, tapi jago beralasan dan mengalihkan pembicaraan.

"Di langit ada awan dan matahari, bersinar menyinari bumi" Jefri justru bernyanyi. Sungguh Jefri memang cocok dengan Anggia yang lemot.

Rima memutar matanya, ia melipat tangannya di depan dada. Kini mata Rima yang tajam menatap Jefri yang masih asyik bernyanyi dan menjadi pusat perhatian. Rima menatap sinis Jefri, membuat berangsur-angsur nyanyian Jefri terhenti.

"Sudah?" Tanya Rima.

Jefri mengangguk, ia tak menyangga jika Anggia mempunyai teman yang segalak ikan hiu beranak.

Dia; Ketika Hukum Menegakkan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang