PRELUDE

4.8K 368 26
                                    

Cinta adalah kegiatan moral tanpa disertai pernikahan, tapi menikah adalah kegiatan moral tanpa cinta.

Ellen Key
Penulis, Pendidik dan Feminis dari Swedia 1849-1926

□■□■□■□■□

Kisah ini ringan, tapi nggak ringan-ringan banget. Tidak terlalu menonjolkan tokoh lain, karena fokus masalah tokoh utama. Mungkin ada adegan dewasa, tapi nggak yakin juga. Word sangat sedikit, 500-1000, karena memang series yang setiap BAB-nya per kata cukup pendek (udah niat), kalau BAB-nya sendiri kurang tahu bakal mencapai BAB berapa, tergantung mood dan bagaimana kalian bersikap.

Kalau memang sulit bagi kalian mengikuti aturan saya yang sederhana, maka saya terpaksa menggunakan cara baru. Cara saya termasuk saran-saran dari beberapa reader, akan saya gunakan di sini. Tidak akan ada update setiap hari lagi. Kalau memang ada update setiap hari, kurasa kalian harus bekerja keras, ayo bersenang-senang :)

□■□■□■□■□

Seperti yang pernah dibahas oleh mereka—sebenarnya beberapa kali mereka menyinggung kalau putri mereka akan segera menikah. Orangtuanya suka bercanda, mereka bukan termasuk jenis orang yang serius, meski kadang-kadang ayah berwajah serius.

Sebenarnya, muka ayah memang sejak lahir selalu terlihat serius, tapi ayah lumayan jenis orang yang memiliki selera humor yang sangat absurd. Percayalah, kau akan dibuat tertawa, bahkan anak pertamamya saja dibuat membeku sambil melemparkan tawa di depan mereka.

"Kalian tidak seharusnya bercanda, tiga hari lagi adalah hari kelulusanku, tapi ini yang kalian ceritakan kepadaku?" ayah sedang membaca koran, ibu sedang menikmati teh, dan apa yang Hinata harapkan dari sang adik yang kini hanya bermain boneka kelinci, bahkan gadis cilik itu sedang sibuk menuangkan sesuatu dari teko kosong ke cangkir-cangkir mainannya. "Bicaralah yang masuk akal."

"Ibu sejak tadi berbicara masuk akal kok, kami tidak pernah berbohong."

"Bagaimana bisa aku percaya pada kalian, kalau kabar yang kalian ungkapkan itu tentang pernikahan, bahkan aku baru saja berusia 18 tahun," ibu dan ayah hanya terdiam, biasanya mereka akan tertawa—sebentar lagi, Hinata yakin, sebentar lagi mereka akan terbahak-bahak karena putri mereka sudah berkeringat dingin, bahkan mungkin pucat. "Aku tidak pernah pacaran, berinteraksi dengan mereka secara intim saja tidak pernah, atau mengajak mereka pergi ke kamarku untuk belajar kelompok. Tapi sekarang kalian akan merencanakan pernikahan dengan seorang pria yang bahkan aku tidak tahu namanya?"

"Pernikahannya masih lama kok," ayah mulai menanggapi, menutup koran kemudian. "Kalian cuma tinggal bersama selama setahun atau bisa juga dua tahun, tergantung situasi."

"Tergantung situasi bagaimana?"

"Iya, kalau kau hamil berarti dipercepat dong."

Hinata bersemu merah, dan secepat mungkin berteriak. "Ayah!" mereka berdua tertawa—orangtuanya yang benar-benar sudah kelewatan malam ini untuk menggoda dirinya. "Apa-apaan sih ucapan ayah itu, bagaimana bisa aku hamil di luar nikah, dan ayah bisa tenang-tenang saja."

"Bukankah yang menghamilimu adalah calon suamimu?" Hinata masih tidak percaya dengan ucapan sang ayah. "Tentu saja kita tinggal menikahkan kalian. Beres!"

"Astaga," putrinya menggeleng-gelengkan kepala, tapi ayah tetap memandanginya dengan pandangan penuh pertanyaan, itu malah terkesan aneh. "Aku sama-sekali tidak mengenal dia, dan jangan libatkan aku lagi pokoknya."

"Tidak bisa begitu dong," ayah masih merespons aneh, kukuh dalam memaksa. "Lagi pula apa gunanya tinggal bersama? Itu juga akan membuat kalian saling mengenal nanti, 'kan?"

"Aku enggak mau!" Hinata keluar dari ruang makan sambil buru-buru pergi ke kamarnya.

Kedua orangtuanya malah menghela napas lelah.

"Ini tidak mudah," kata ibu yang membereskan alat-alat tehnya. Lalu melirik putri keduanya. "Hanabi, ayo waktunya tidur."

Anak itu mendongak, tampak kecewa. "Tunggu, ibu. Tuan Kelinci belum menghabiskan tehnya."

"Sampai dunia kiamat pun, Tuan Kelinci tidak akan menghabiskan tehnya!" ayah sudah ingin marah, karena menghadapi situasi di keluarganya—memikirkan mengingkar janji itu bukan kebiasaannya.

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

COVENANT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang