BAB 9

2.1K 291 8
                                    

Saya nggak menyangka malam-malam begini ditraktir tiga cangkir kopi oleh Mistyares, "Semoga setan-setan badmood dalam diri Buki minggat", katanya dalam sebuah catatan kecil. Although you consider this small, but it really means a lot.

□■□■□■□■□

Setiap hari mereka menikmati hidangan di meja makan yang sama. Setiap pagi mereka bertegur sapa. Setiap hari mereka selalu membalas senyuman. Hingga sampai akhirnya mereka berdua pergi jalan-jalan mengelilingi Tokyo menggunakan bus pariwisata seharian. Sampailah mereka makan malam berdua di sebuah restoran Prancis sebagai tempat terakhir untuk singgah. Hinata maupun Naruto, seharian ini mereka benar-benar senang.

"Aku sudah pesan anggur tanpa kandungan alkohol, jadi kau bisa menikmatinya."

Hinata melihat sekelilingnya. Mencoba mengingat kapan terakhir dia berada di tempat semewah ini bersama orangtuanya. Setiap hari pernikahan orangtuanya, ayah dan ibunya selalu menghabiskan waktu di restoran steik, tentu juga mengajak anak-anak mereka yang cantik. Namun setidaknya sudah dua tahun terakhir ini mereka memang jarang keluar sekadar pergi ke restoran keluarga. Syukur-syukur kalau mereka masih sering pergi piknik musim panas.

"Kalau mau pesan anggur dengan kandungan alkohol tidak apa-apa kok. Aku sudah bisa minum alkohol, dan sesekali aku minum bir bersama temanku."

"Kita sudah lelah seharian ini berkeliling, memang sepantasnya harus menikmati sesuatu yang sedikit agak keras," kata Naruto, kemudian pemuda itu melambaikan tangan pada seorang pelayan muda. "Kami boleh mengubah pesanan anggur? Tolong ganti dengan yang ada kandungan alkohol, tapi jangan terlalu kuat." Pelayan tersebut cepat menyetujui.

Di restoran Prancis tersebut, mereka berdua duduk di lantai tiga. Dekat jendela, yang membuat Hinata bisa melihat pemandangan kota. Seharian ini memang sangat menyenangkan. Ia tidak menyangka begitu sangat bahagia hanya karena menjadi turis dadakan di tempat kelahirannya sendiri.

Pesanan mereka datang, steik yang dimasak medium. Anggur yang cocok bagi mereka dengan sedikit sentuhan asam dan pahit yang menampar mulut mereka. "Apa untuk makanan ini boleh aku yang traktir?" tawar Hinata, membuat Naruto tertegun, dia meletakkan gelas anggurnya ke atas meja, menggeleng-gelengkan kepala untuk menolak. "Kau sudah tahu, kalau aku bekerja bukan karena kekurangan uang, aku bekerja karena aku ingin hidup mandiri."

"Iya, aku tahu betul. Tapi hari ini aku yang mengajakmu, jadi biarkan aku yang membayar semuanya."

Hinata hanya mengumbar senyumannya. Mereka mulai terbuka, tapi bagi Hinata, dia tetap tidak ingin adanya pernikahan di antara mereka—daripada menyetujui pernikahan, mengapa mereka tidak menjadi saudara yang saling melengkapi saja?

Siapa pun itu bahkan mengira Naruto jauh lebih tua dari Hinata. Badan pemuda itu tinggi, besar, pundaknya lebar, wajahnya tegas, dan tentunya otaknya yang sangat cemerlang. Meski kenyataannya usia mereka tidak jauh berbeda, tapi sosok Naruto pantas untuk menjadi seorang kakak bagi Hinata.

Kalau dilihat dari sisi betapa menawan lelaki itu, Hinata tiba-tiba rendah diri, takut bahwa dirinya mungkin gadis yang tidak pernah pantas berada di sisi laki-laki itu dengan status macam apa pun. Tidak peduli sebagai seorang adik, tidak peduli seorang kekasih, atau tidak peduli sebagai seorang istri. Hinata memiliki banyak kekurangan. Apalagi dia belum menemukan masa depan yang jelas. Ia akan berada di perguruan tinggi kalau dia benar-benar menemukan minatnya dalam bidang yang disukainya kelak.

"Oh, iya, apakah aku boleh tanya tentang sesuatu, mungkin ini sedikit privasi bagimu," dengan mengamati dan takut-takut bahwa pertanyaannya mungkin dapat menyinggung, Hinata menunduk sebentar sebelum akhirnya mempertanyakan, "Mengapa bisa kau punya tato di tubuhmu?"

COVENANT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang