BAB 4

2.4K 341 34
                                    

Ditunggu 100 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Di hari pertemuan itu, semua orang berkumpul di ruang makan privat. Keluarga Uzumaki dianggap oleh Hinata sangat tidak sopan karena terlambat lima belas menit. Mereka mengaku butuh banyak persiapan. Dipikir mereka siapa menggunakan alasan butuh persiapan? Hinata yang tidak suka hanya menunduk memandangi piring-piring kosong di depannya. Makan malam formal paling tidak disukainya—table manner yang membosankan. Berada di sini sungguh semakin membuatnya muak.

Dan pemuda itu duduk di depannya, memperhatikan seolah mereka telah dipertemukan dengan keakraban bahkan saling mengumbar kehangatan. Pertemuan awal mereka, sama-sekali tidak terukir kesan yang baik. Laki-laki itu sembrono, dan ucapannya kurang ajar karena terlalu lama berbaur dengan kaum Barat. Jelas segala tindakannya itu tidak bisa terkontrol, serta membuat Hinata sakit hati.

Memangnya kenapa jika masih perawan? Itu namanya gadis yang konsisten untuk menjaga kesucian.

Sebaik dan selugu apa pun laki-laki Barat—kutu buku, tidak berminat dengan kencan ataupun perempuan—mereka sebenarnya lebih ahli untuk tidur dengan siapa pun tanpa ikatan yang jelas, demi sebuah kehangatan sementara maupun kepuasan yang dapat meredakan stres mereka sesaat.

Aturan orang-orang Barat itu seperti itu. Hinata tahu banyak, mengingat aturan seperti itu semakin tersebar luas di negaranya sendiri. Teman-temannya yang paling penting tidak tahu malu untuk mengungkit seberapa besar kelamin anak laki-laki yang mereka dekati. Itu menjijikkan!

Acara dimulai dengan percakapan tentang program-program di universitas. Laki-laki itu mengecap pendidikan sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah ke atas dalam kurung waktu sembilan tahun saja. Setelah itu, dia mendapatkan tawaran program sarjana yang tidak ditolak olehnya. Dan sekarang, tawaran dari guru besar Keio bisa mengecap program PhD. Hidupnya sama-sekali tidak menarik. Sebenarnya dia terlalu pendiam hari ini, padahal beberapa hari lalu mulutnya kurang ajar sekali. Dia cuma sekadar pintar, tapi sopan santunnya jelas kurang.

"Boleh aku pergi cari angin?" orang-orang di situ terdiam setelah mereka menikmati hidangan pembuka, menu utama, terakhir hidangan penutup. Hinata berbisik kecil, tapi orang-orang dapat menangkap keinginannya sembari menikmati teh.

Kushina tersenyum. "Silakan, percakapannya pasti tidak membuatmu nyaman, 'kan?"

"Tidak juga. Saya hanya butuh udara segar saja, banyak yang saya pikirkan akhir-akhir ini."

Hinata berpamitan. Keluar dari ruang privat itu menuju ke arah balkon di lantai itu. Di sana ada kursi santai dan payung-payung besar. Juga tempat duduk persegi panjang, dengan meja-meja kayu pernis. Sedangkan Hinata mendekati pagar ukiran di balkon, memandangi cahaya-cahaya kota yang seperti sekumpulan kunang-kunang yang indah.

"Mau membicarakan sekali lagi?" dia menoleh ke belakang, dengan setelan formal laki-laki itu mendekatinya. Sudah dibilang ingin mencari angin segar, malah dipertemukan oleh pemuda itu lagi. Udara yang sebelumnya sedikitnya agak menyejukkan, kini menyesakkan kembali. "Kau masih keberatan? Aku tahu itu."

"Kalau aku keberatan pun, aku tidak bisa mencegah semuanya, satu lawan sekian banyak orang, kupikir aku hanya seorang Kurcaci yang tak akan bisa melampau Maharaja."

"Perumpamaan apa itu, sulit dipahami."

"Kau pikir saja siapa Kurcaci-nya, dan siapa itu Maharaja-nya."

"Bagaimana kalau kita tinggal bersama saja? Tidak perlu menikah dulu."

"Memang seperti itu bisa? Semuanya sudah diatur, sulit menentang. Kau sendiri saja tidak memiliki pendirian untuk menolak."

COVENANT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang