WONU pikir matanya bisa diajak kompromi untuk bergadang hingga pagi. Akan tetapi, dua jam setelah dia tidak sengaja tertidur di sela-sela kegiatannya menulis lirik lagu, suara kebisingan menyentak-nyentaknya untuk bangun. Memaksanya membuka mata dan ketika dia turuti keinginan itu, kepalanya langsung diserang oleh penat yang teramat sangat di bagian belakang.
Sialan, umpat Wonu dalam hati. Meraba-raba nakas kecil di samping tempat tidur, mencari kacamata. Segera menggunakannya lantas beranjak bangun. Kebisingan yang terdengar semakin menjadi-jadi, kali ini dibarengi oleh teriakan. Saat melihat jam dinding, wajahnya mengeras mengetahui ini bahkan masih pukul setengah enam pagi.
Orang gila macam apa bikin ribut sepagi ini?
Keluar dari kamar, Wonu melangkahkan kaki menuju depan rumah. Mengecek apa yang terjadi. Mata sipit berbalut kacamata bening itu sontak memelotot begitu mendapati sosok Weny tengah mengacungkan salah satu sandal swallow bututnya tinggi-tinggi. Mengarahkan pada wanita gemuk yang tubuhnya dipegangi oleh beberapa ibu-ibu. Seperti sedang menahan supaya wanita itu tidak maju atau sandal Weny akan benar-benar menghantam kepalanya.
"Heh, saya teh ngomong fakta, kenapa kamu marah? Kamu kan emang perempuan nggak bener! Kamu pikir kita semua nggak tahu kalau kamu suka pulang malam-malam buta? Coba saya tanya, ngapain perempuan pulangnya jam segitu? Kerja apa? Jual diri, iya?"
"Mulut lu bener-bener, ya!" Weny menggelengkan kepala, menurunkan acungan sendalnya, berganti menyingsingkan lengan baju hingga menampilkan tulang-tulang kurus. Perempuan itu berkacak pinggang menantang. "Iya, gue jual diri! Lu tahu siapa pembelinya? Suami lu!" tandas Weny, tanpa pikir panjang.
Jangankan ibu-ibu dan wanita gendut tadi, Wonu saja sampai menganga akan jawaban Weny. Namun, melihat wajah keterkejutan mereka, Weny malah merasa senang.
"Makanya punya suami tuh dijaga! Kalau bisa lu kekepin tiap hari biar nggak tergiur sama daun muda kayak gue yang udah jelas-jelas lebih cantik!" Dian—wanita gendut itu, semakin melotot. Mulutnya terbuka lebar. Menyebabkan Weny lebih bersemangat.
"Lebih seksi!" lanjut Weny, menggoyangkan tubuh, sengaja memancing. "Dan tentu, lebih yahuuuuuud!" Goyangan Weny bertambah heboh. Menarik perhatian tukang sayur serta bapak-bapak yang ikut keluar karena keberisikan. Dan tentu saja, amarah mereka kontan teredam sebab pemandangan ini terlalu menarik. Weny dengan kaus polos ketat dan celana hotpans luar biasa pendek berhasil menyegarkan mata mereka. Ditambah, bra warna hitam yang perempuan itu kenakan menembus celah-celah mata.
Mengetahui ini, ibu-ibu jadi histeris mengamankan suami masing-masing. Melepaskan Dian yang siap mengamuk. Bak banteng dalam sebuah pertunjukkan, wanita itu menatap Weny nyalang. Kakinya bersiap-siap menerjang. Begitu Dian maju hendak menubruk tubuh Weny—yang tentu langsung panik—Wonu segera berlari. Menahan napas saat dalam jarak sedekat nadi, kaki besar milik wanita itu sudah terangkat. Hanya tinggal hitungan detik sampai kaki itu mengenai tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendar [selesai]
Teen FictionDelapan belas tahun ini, Wonu percaya bahwa hidupnya selalu dikelilingi oleh kegelapan. Tidak ada kata mudah baginya untuk bisa bertahan berada di dunia. Seolah-olah Tuhan menciptakannya hanya untuk merasakan apa itu pahit, gagal, serta hampa. Dan k...