Cahaya matahari mulai masuk melalui celah-celah jendela kamar. Kanaya yang sedari tadi bersembunyi dibalik selimut pun mulai terusik. Bukan membuka mata, ia malah berguling-guling diatas ranjang.
Brakk
"Sial."
Kanaya bangun dari lantai dengan perasaan dongkol. Tentu saja, ini terlalu pagi untuk mencium keramik dingin di kamarnya.
Berdiri dihadapan cermin, tangannya terulur membenarkan tatanan rambut sebahu nya, "16 tahun aku hidup, tapi belum pernah nemuin fakta kalo cewek lebih cantik pas bangun tidur."
Masih setia dengan aktivitas membelai rambutnya, Kanaya melirik ke sekitar kamar. Dan matanya terhenti pada kalender disamping kirinya.
"Tanggal 20, berarti hari ini Devano ulang tahun?"
Kanaya bergegas menuju kamar mandi. Setelahnya ia keluar dengan seragam lengkap, memoleskan make up tipis dan menarik ransel menuju dapur.
"Morning," ucapnya lantas mengecup pipi Ibunya.
"Pagi sayang. Emm Nay, ibu mau ngomong boleh?"
Dahi Kanaya berkerut, "Sejak kapan Ibu Laras izin dulu sebelum ngomong?"
"Aww! Parah banget punya ibu."
Kanaya mengusap kepala nya, bukannya lebay tapi pukulan dikepalanya cukup sakit.
"Nenek ngajak makan malam."
Kanaya mengangkat kepalanya antusias, "Seriusan? Aku mau lah, eh emang nenek udah pulang umroh? Kok nggak kesini pulangnya?"
Laras menggeleng tampak ragu untuk bicara, "Di rumah Tante Lusi."
"Ta-tante Lusi? Memangnya tante mau rumahnya dikunjungi anak sialan kaya aku?"
***
Dua minggu berlalu. Semua berjalan seperti biasanya, tidak ada yang aneh sama sekali. Devano yang tidak menganggap bahwa ia duduk disampingnya, Devano yang cuek ketika ditanya, dan Devano yang seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Kabar kepindahan Devano pun sudah menyebar ke seluruh sekolah. Nasib bagus mungkin untuk Devano, namun tidak dengan Kanaya. Lihatlah, gadis itu harus membersihkan laci mejanya dari hadiah dan surat-surat yang diberikan fans Devano.
"Ngapain sih ngasih beginian segala? Kan aku yang repot, masih mending cuma di laci dia lah ini membludak sampe laciku segala."
"Kalo gak suka, jangan dilihat. Kalo gak mau, jangan diterusin. Gue gak minta mereka ngasih ini semua, dan gue gak minta untuk lo rapihin meja gue."
Kanaya berbalik menatap Devano, lalu menyerahkan kantung plastik berisi coklat dan hadiah lainnya, "Ck. Devano yang terhormat, harusnya kamu bilang terimakasih bukan marah-marah gini."
"Gue gak marah Kanayaa," ucapnya geram.
"Gak marah kata lo? Bocah TK pun tau kalo lo daritadi marahin gue."
"Kok lo jadi lo-guean sih?"
"Yang punya mulut siapa? Aku kan? Terserah dong mau ngomong apa juga."
Devano mengurungkan niatnya untuk menjawab Kanaya, karena tiba-tiba sudah ada tangan yang bergelayut di lengannya.
"Happy Birthday Depannya Della. Semoga panjang umur, dan tambah sayang sama Della."
"Gak usah sok manis bego," ucap Devano dengan tangan yang menoyor Della.
"Ihh! Apasih Devann. Rusak nih rambut gue, susah-susah gue ngucapin manis gini nggak dihargain sama sekali."
Della mengerucutkan bibirnya, membuat Devano mengacak gemas rambutnya.
"Udah ayo duduk."
Devano menggiring Della untuk duduk di kursi paling depan. Mereka mengobrol tanpa mengindahkan dirinya. Tak jarang Devano mengusap atau mengacak-acak rambut Della, yang dibalas amarah gadis itu.
Kanaya mengalihkan pandangannya, dan kembali duduk. Hatinya seakan tersentil. Air mata pun mulai turun membasahi pipinya, namun segera ia hapus.
Memilih mengabaikan, akhirnya ia menenggelamkan wajahnya diatas meja. Dengan harapan sesak dihatinya akan dengan cepat berkurang.
"Lo nangis?"
Kanaya mengangkat kepasa lantas menatap kearah belakang Devano, ternyata Della sudah pergi, "Gak."
"Cih, dasar pembohong."
"Dasar gak peka!" batin Kanaya.
"Nay?"
"Hm."
"Gue lebih suka lo pake aku-kamuan."
***
Jangan lupa tinggalkan jejak🐾
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA
Teen FictionKanaya Shesa Taufania, gadis cantik yang enggan membuka hati karena masih terjerat dengan kisah di masa lalunya. Kanaya masih mendambakan sosok yang pernah mengisi hari-harinya dulu. Namun, ketika dia yang didambakan ternyata tengah mendambakan oran...