•Bagian 4•

64 9 101
                                    

"Cinta itu saling berjuang. Namun, ketika yang diperjuangkan sudah tidak mau. Untuk apa dipertahankan? Lebih baik lepaskan, percuma saja kamu mengekang.."

Kanaya melepaskan earphone putih dari telinganya, kalimat penyiar radio tadi berhasil mengusiknya.

"Kalo ujungnya melepaskan, ngapain datang?"

"Datang bukan berarti harus mengulang. Ingat Nay, manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan."

Kanaya tersentak akan kedatangan Laras, entah sejak kapan wanita itu duduk di samping kirinya.

"Kamu masih belum melupakan dia?" tanya Laras tepat sasaran.

"Andai melupakan semudah itu, sudah dari dulu aku ngelupain dia bu."

"Jangan berlarut-larut Nay. Lebih baik kamu siap-siap, ibu tunggu dibawah," ucapnya lantas beranjak meninggalkan Kanaya.

"Semoga ibu nggak kaya Naya ya, terjebak dalam masa lalu."

***

Motor Devano memasuki pekarangan rumah nya. Rumah dengan nuansa putih itu benar-benar seperti jiplakan dari rumah yang ia tinggali dulu di Bandung.

Kaki Devano berjalan memasuki rumah, lantas menaiki tangga penghubung lantai satu dan lantai dua.

Rumahnya ramai akan perlengkapan, tapi terasa kosong seakan tidak ada orang yang menghuni.

Padahal ia lahir dengan orang tua yang lengkap, tapi Devano besar tanpa didikan keduanya. Pekerjaan adalah prioritas, kehadiran Devano ditengah-tengah mereka pun seperti tidak ada gunanya.

Devano menghempaskan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.

Tangannya mulai menyalakan hp, disana terdapat popup chat dari Della.

Love : Lagi ngapain?

Love : Kok kamu gk bls si?:(

Love : Pannn, ih kangen tau:(

Devano tersenyum melihat pesan dari gadisnya. Sepertinya Devano sangat sibuk, terlihat pukul Della mengirimkan pesan sudah beberapa jam yang lalu.

Devano sama sekali tidak membalas, ia justru bergegas bangun menuju kamar mandi. Rasanya Devano ingin bertemu Della dan memeluknya erat-erat.

Kehadiran Della benar-benar membuat dunia Devano berubah. Sebelumnya warna dihidup Devano hanyalah hitam, tapi berkat kedatangan Della yang membawa ribuan warna membuat Devano memiliki alasan untuk hidup.

Ia ingat bagaimana Della mengajaknya berbicara dulu, Della anak yang periang membuat Devano iri kepadanya.

Flashback on.

Devano tengah meringkuk dibawah pohon. Ia menangis sesenggukan dengan kepala yang dibenamkan di kedua lututnya.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya pelan, "Kamu kenapa?"

Devano mengangkat kepalanya, "Kamu siapa?"

"Aku Della, ayok bangun. Kita nggak boleh cengeng kata ayahku."

"Ayah? Aku boleh ketemu ayah kamu?"

Della menggeleng, "Ayah udah tenang disana." Della menatap keatas lalu tersenyum.

"Maafin aku."

"Nggak papa, ayok bangun. Walaupun nggak bisa ketemu ayah, kamu bisa ketemu mama aku. Dia baik kok, mama itu seperti malaikat dihidup aku."

KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang