Chapter 7

53 11 1
                                    

Dua bulan kemudian

Secangkir cokelat panas dan brownies kukus menemani kesendirianku di kafe. Terhitung, sudah dua jam aku berada di tempat ini --kafe milik Ardan yang didesain bergaya retro. Sejujurnya, tidak ada yang lebih sempurna dari pada menikmati me time.

Setelah aku memutuskan untuk mengakhiri pertemuan dengan laki-laki bernama Doyoung, aku banyak menghabiskan waktu di luar kota. Untungnya ibu tidak berpikir bahwa aku harus segera menikah. Ia memberiku waktu. Bagaimana pun juga, aku ingin menikah dengan laki-laki yang aku cintai.

"Mbak Tina nggak pulang?" Suara Ardan memecah keheninganku selama dua jam penuh.

Aku menoleh dan mendapati sosoknya sudah duduk kursi depanku.

"Kamu ngusir aku?" Gurauku.

"Bukan gitu," ia menghela napas berat, "ibu tadi kirim pesan ke Ardan dan bilang kalau ada orang yang lagi nunggu Mbak Tina di rumah." Ujarnya.

Aku mengernyitkan dahi dan spontan meraih ponsel yang ada di dalam tas. Betul, ibu sudah menghubungiku beberapa kali. Aku sengaja tidak membunyikan ponsel hanya untuk menikmati waktu luang yang ada.

"Siapa?" Tanyaku.

"Ibu nggak ngasih tahu, tapi katanya penting."

"Aku harus balik ke rumah kalau gitu." Ujarku sambil merapikan meja dan tas.

"Mau Ardan antar, mbak?"

"Nggak usah," aku menolak dengan sopan, "aku bisa pesan taksi online. Lagian, kamu pasti lebih dibutuhin karyawan kamu di sini." Lalu mulai memesan taksi online dan berpamitan kepada Ardan.

Yang aku ingat, Lisa tidak mungkin berkunjung, karena perempuan itu sedang berada di Australia dan baru akan kembali minggu depan.

Rasa penasaranku semakin kuat ketika melihat sebuah mobil sedan terparkir di depan rumah. Jika dilihat dari plat, aku merasa sedikit asing. Setelah membayar taksi, aku langsung memasuki perkarangan rumah.

"Ini dia orang yang ditunggu sudah datang." Suara bapak menggema di teras rumah --bersamaan dengan munculnya sosok laki-laki berjaket cokelat dari belakang --Doyoung.

"Senang bisa bertemu kamu lagi."

** ** **

Kami mengobrol di ruang tamu. Doyoung berbagi cerita tentang dirinya yang kerepotan mengurus Devano --hingga membuatnya terpaksa mencarikan seorang baby sitter. Menjadi single parent diusia muda memang bukan perkara mudah --ditambah dengan dirinya yang belum mau mencari ibu pengganti untuk Devano.

"Ada banyak hal yang perlu saya sampaikan ke kamu. Saya sudah memikirkan hal ini dengan matang dan saya harap kamu bisa menerimanya." Aku tidak cukup mengerti dengan ucapan Doyoung barusan. Setelah dua bulan berlalu, pria ini tiba-tiba muncul dan memutuskan untuk bertemu denganku lagi.

Aku mengernyitkan dahi, merasa agak was-was. "Kamu mau ngomong apa emangnya? Kok saya rasa kayak ada sesuatu yang nggak beres?"

"Pertama-tama, kita pernah bertemu dua tahun yang lalu di rumah sakit --oh bukan, lebih tepatnya saya yang pernah ketemu kamu."

Aku benar-benar membisu, berusaha mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan olehnya. Ini tidak masuk akal. Bagaimana kami bisa bertemu sebelumnya?

"Kamu pernah ketemu saya?" Adalah gambaran yang tepat atas reaksiku saat ini. Jantungku bahkan berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Dua tahun yang lalu, saat kamu kecelakaan, Samantha ada di rumah sakit yang sama."

Aku sempat diam, tidak memberikan reaksi apapun, termasuk mengambil sebuah surat yang Doyoung letakkan di atas meja. Kepalaku pening. Apa maksud dari semua ini?

Slice of Love [NCT Kim Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang