Ghita Agnesia Mahesa, cewek dengan tubuh mungil dan rambut sedikit pirangnya yang begitu menggemaskan. Memiliki paras cantik dan imut, namun tak membuat dirinya dicintai dengan tulus oleh kekasihnya saat ini.
"Jadi, kamu beneran selingkuhin aku sama tante-tante itu?" Tanya cewek yang lebih suka dipanggil Agnes itu.
"Stop sebut dia tante-tante! Aku cuma mau kita putus dengan baik-baik, jadi gak usah perpanjang masalah ini!" Ucap cowok di depan Agnes dengan suara tertahan.
Agnes memutar bola matanya jengah. Dari awal dia memang sudah mengira bahwa Chandra—pacarnya ini, ah ralat, mantan pacarnya ini—adalah cowok mata keranjang yang gak cukup bertahan dengan satu cewek. Dia sudah pernah menolak cowok itu, namun melihat perjuangan Chandra mendekati dirinya, lambat laun pun Agnes menerima Chandra sebagai pacarnya. Dan kini, baru tiga bulan sembilan hari mereka berpacaran, Chandra sudah berpaling darinya. Apakah dirinya begitu membosankan sehingga Chandra memilih untuk berselingkuh dengan anak model bernama Siska itu?
"Aku mau tau alasannya."
Chandra menghembuskan napasnya kasar. "Kalo aku bilang kamu terlalu baik buat aku, apa kamu percaya?"
"Hah, alasan klise." Jengah Agnes dengan bibir yang tersenyum miring. Setelah itu, dia menatap lekat ke arah Chandra.
"Oke kalo gitu, aku juga minta putus. Dan inget ya, aku yang mutusin kamu. Jadi, jangan sok ganteng jadi cowok!" Ucap Agnes sedikit keras sehingga mengundang tatapan dari pengunjung kafe. Setelah itu, ia bangkit dari kursi dan berjalan ke luar kafe tanpa menunggu reaksi dari Chandra.
Gadis itu terus saja berjalan menuju halte bus kota. Hari sudah gelap, udara pun semakin terasa dingin, suara gemuruh petir mulai terdengar. Sepertinya malam ini akan hujan. Kini Agnes telah duduk di halte. Tak lama, bus datang dan ia pun segera masuk ke dalam bus itu.
Agnes memilih untuk duduk di kursi samping jendela, tatapannya terus jatuh ke jalanan kota yang penuh dengan gemerlap cahaya. Begitu indah.
Selama perjalanan, Agnes tak henti-hentinya melamun. Pikirannya terus tertuju pada kejadian tadi saat di kafe. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Mungkin di depan Chandra, dia bisa menahan untuk tidak menangis. Namun ia juga tak bisa berbohong kalau dirinya begitu tersakiti. Ia tidak akan menangis di depan Chandra, karena itu akan membuat cowok brengsek itu merasa menang atas dirinya, merasa begitu segalanya sehingga terus berbuat semena-mena.
Setelah setengah jam lamanya, akhirnya bus sampai di halte tujuan Agnes. Ia pun segera turun. Gadis itu kembali berjalan melewati bangunan kota untuk sampai di komplek perumahannya. Sedari tadi, petir tak henti-hentinya terdengar. Hingga suara gemuruh petir yang begitu kencang mengagetkan Agnes, dirinya terlonjak bersamaan dengan derasnya hujan menghantam tubuh mungilnya. Agnes pun segera meneduh di salah satu bangunan usang yang tak terpakai lagi.
Terus berulang. Suara gemuruh petir dan tetesan air yang berasal dari langit. Suara itu terus menggema, membuat siapapun yang mendengarnya terlonjak ketakutan.
Agnes terduduk. Matanya terus tertuju pada jalanan yang kian semakin lengang dan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sebelas menit, keadaan sekitar pun begitu sepi. Seketika, ia bergerak. Menekuk kedua kaki dan menyelimutinya dengan tangan mungilnya. Pandangannya kian jatuh ke arah langit yang begitu gelap, menyisakan rasa takut dalam dirinya.
Ia sadar, kalau ia sedang sendiri, bersama dengan ketakutan yang selama ini dihindarinya. Bagaimana tidak? Suara jeritan petir itu terus saja mengejutkannya. Ia takut, benar-benar takut. Kali ini, hujan turun begitu deras bersama dengan jeritan petir yang begitu memilukan. Siapapun tak akan suka dengan keadaan seperti ini.
Tanpa dipinta, ingatannya tadi saat di kafe pun terputar kembali. Jika seperti ini, rasanya Agnes kangen bercerita keluh kesahnya dengan Mama. Matanya pun kian memanas, disusul dengan bulir bening yang mentes tanpa bisa dicegah.
Agnes merasa dirinya bodoh karena dulu dia telah terhanyut dalam perhatian basi cowok itu. Namun dia juga tidak munafik bahwa selama pacaran ini, Chandra adalah cowok yang manis. Tentu saja dia juga kaget akan ucapan putus dari mulut cowok itu. Agnes tahu kalau Chandra begitu dekat dengan model bernama Siska itu. Mereka berdua memang berada di kelas yang sama dan kerap kali Agnes mendapati mereka yang begitu terlihat akrab. Pada awalnya Agnes tak terlalu memikirkan hal itu, namun dia pun tak bisa mengelak bahwa ada perasaan cemburu yang muncul di dirinya.
Mungkin dia menangis akan putusnya hubungannya dengan Chandra. Tapi dia juga bertekad kalau setelah ini, dia tidak akan menangisi cowok itu lagi. Cukup sehari saja dia bersedih. Namun setelahnya, dia akan membuktikan bahwa dia jauh lebih baik setelah putus dari Chandra. Kalau cowok itu saja merasa biasa-biasa saja saat memutuskannya, lalu kenapa juga Agnes harus bersedih. Dia juga bisa bahagia setelah ini.
Di tengah lamunannya, Agnes terlonjak kaget dengan reflek bangkit dari duduknya. Setelah itu, napasnya tertahan dengan tangan menutup mulutnya yang menganga kaget akan sesuatu yang terjadi barusan.
Di sana, tak jauh dari bangunan tua—yang tak digunakan lagi—yang sedang dia jadikan tempat berteduh, sebuah mobil menabrak tiang di pinggir jalan. Bagian depan mobil itu rusak dan mengeluarkan asap, dengan pintu pengemudi yang sudah terbuka lebar. Tak ada yang menyadari kejadian itu. Keadaan sekitar begitu sunyi, karena hujan dan juga hari yang semakin malam.
Agnes kini diselimuti rasa bimbang. Ia takut. Kilatan petir masih menyambar, namun pikirannya kini tertuju pada sosok yang ada di mobil itu. Dengan mengumpulkan segala keberaniannya, dan dengan rasa kemanusiaan yang dimilikinya, ia pun berlari menyebrang ke arah mobil berada. Seketika ia berhenti saat kilatan petir menyambar. Tubuhnya reflek terjongkok di tengah jalan, beruntung tak ada satupun kendaraan yang melintas. Setelah tersadar, Agnes segera bangkit dan berlari.
Agnes bingung harus melakukan apa saat ia sudah berada di samping mobil itu—tepatnya di samping lelaki yang kini bersimbah darah. Hujan terus saja turun tanpa berniat untuk berhenti. Ia terus menoleh ke sekeliling berharap ada orang yang bisa ia mintai pertolongan.
"To–tolong...."
Reflek, Agnes menoleh ke sosok lelaki yang tengah berusaha menahan kesakitan. Matanya terbuka lemah, tatapannya begitu memohon akan belas kasihan.
Ia pun segera membawa lelaki itu keluar dari mobilnya, untuk menjaga-jaga jika sewaktu-waktu mobil itu meledak. Setelah berada sekitar beberapa meter dari mobil, ia segera membaringkan lelaki itu di tanah dengan pahanya sebagai tumpuan kepala lelaki itu.
"Tolong gue—" Lelaki itu kembali berucap lirih. Dan tanpa diduga--setelah ia mengucapkan itu--matanya terpejam perlahan, dengan tubuh yang kini tak mengeluarkan pergerakan.
Dan setelah itu, suara ledakan yang begitu nyaring terdengar dari arah mobil. Agnes terlonjak kaget dan reflek berteriak, barulah setelah itu ia menangis. Menangis dengan perasaan sedikit lega karena setidaknya, ia telah menyelamatkan lelaki tersebut dari ledakan tadi. Pandangannya pun kini beralih ke sosok yang terbaring lemah di bawah pangkuannya.
"Gak! Gak mungkin!"
Ia tertegun, tangannya berusaha mengguncang tubuh itu perlahan.
"Plis, bangun... Jangan mati dulu."
Agnes kembali menangis dengan kini mengeluarkan isakannya. Ia takut, sangat takut. Bingung harus melakukan apa. Tangannya terus mengguncang tubuh lelaki itu berharap kembali sadar. Namun nihil. Lelaki itu tetap memejamkan matanya tanpa terganggu sedikitpun. Tanpa sadar, tangan gadis itu kini dipenuhi oleh darah. Ia menatap kedua tangannya dan lelaki itu bergantian. Dan detik selanjutnya, tangisnya kembali terdengar semakin pecah melawan derasnya air hujan.
🌧️🌧️🌧️
~SoAmI~
13 Januari 2020
*TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
So Am I
Teen FictionIni tentang dua insan yang dipertemukan oleh semesta tanpa pernah mereka duga sebelumnya. Ghita Agnesia Mahesa, cewek mungil dengan paras cantik nan imut. Namun siapa sangka jika dirinya diputusi begitu saja oleh mantan kekasihnya. Devan Orlando Re...