📝 keempat

247 38 3
                                        

"Mark, kamu mau janji satu hal sama aku?"

"Apa?"

"Jangan berantem lagi kalau udah mau masuk SMA, ya? Jangan ikut-ikutan Lucas lagi, jangan ngerokok lagi, jangan—"

"Lo bukan nyokap gue, gausah larang-larang!"bentakkan dari Mark cukup membuat nyali Lula menciut seketika.

Mark membuang puntung rokok yang baru ia hisap lalu menginjaknya dengan kasar sembari tak melepas pandangannya dari Lula yang kini berdiri tepat dihadapannya, dikoridor belakang sekolah yang menghubungkan lorong perpustakaan yang jarang sekali dilalui.

Lucas melirik dari jarak yang tak jauh berdiri diantara kedua sepasang kekasih itu dengan wajah datarnya yang khas serta tatapannya yang tajam. Pemandangan ini sudah familiar dimatanya, jadi Lucas tak perlu memisahkan diri untuk mengamati dua sejoli yang sedang adu cekcok yang menurutnya termasuk kedalam masalah yang kecil.

"Aku cuma kasih tau yang baik, Mark."

"Perduli apa sih lo, jing?"Mark mengusap wajahnya kasar, frustasi menatap Lula yang memasang ekspresi penuh belas kasihan padanya yang mana malah semakin membuat Mark dongkol melihatnya.

"Sabar, heh!"si lelaki bak tiang listrik berjalan itu menyahut setelah mendengar makian kasar dari sang sahabat. Lula melirik sekilas, tak perduli dengan kehadiran Lucas karena jujur saja ia membenci lelaki itu.

Tidak mau memperpanjang masalah, Lula berputar arah dan mulai meninggalkan area koridor yang terkesan sepi itu, meninggalkan Mark dan juga Lucas dengan obrolannya yang seketika menahan langkahnya untuk berhenti dengan cepat.

"Lo jadi minta foto dia yang begitu?"

"Hm,"

"Cemen, ah. Inget taruhannya apa coba?"

Lula menghela napasnya kasar. Lagi-lagi ingatan itu berputar dipikirannya bagai roll film yang siap ditayangkan. Dengan merubah posisi, Lula menyandarkan tubuhnya pada penyangga tembok kelas sembari memperhatikan seisi ruangan yang ricuh karena jam istirahat sedang berlangsung.

Itu sekitar hampir dua tahun yang lalu, saat dimana ia dan Mark berada di penghujung masa masa SMP yang bagi Lula adalah masa paling suram dalam hidupnya. Salah satu alasan mengapa Lula menyebutnya seperti itu adalah karena Mark.

Mark tidak dikenal dengan sisi positif yang baik saat mereka masih mengenakan seragam biru tua kala itu. Dia perokok, berkelahi, menindas, tetapi semua orang mengaguminya karena kepintaran otaknya serta kekuasaan ayahnya yang berbicara. Lula tak bohong, adakala dimana dia lelah untuk mencintai seseorang yang seolah buta akan dirinya sendiri.

Satu hal mengapa Lula membenci patah hati, ketika ia sadar bahwa Mark yang merupakan cinta pertamanya hanyalah seseorang yang sedang memainkan peran untuk menghancurkan hatinya dalam sekali remukkan, dan itu berhasil.

Dan satu hal lagi, mengapa ada bagian dalam sisi Mark yang ia benci, karena adanya lelaki bernama Lucas yang menyadarkan Lula bahwa kebahagiaan yang ia rasakan saat itu hanyalah sebuah sifat yang fana. Tak pernah benar-benar nyata.

Ting!

Ponsel Lula bergetar diatas meja. Tanpa hasrat, ia meliriknya sekilas dengan tidak minat. Tetapi begitu sadar siapa pengirim dari pesan masuk yang ada diponselnya, jantung Lula seperti dimainkan dengan tidak warasnya.

Hendery
Hei, bisa ketemu diperpus?

****

Dinginnya air conditioner menyapa Lula yang dibalut sweater hijau neon ketika ia menyapa lantai perpustakaan yang dingin. Lula sadar ini pertama kalinya ia memasukki ruangan penuh tumpukan buku selama hampir tiga tahunnya ia bersekolah disini.

(1) MEMORIES.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang