📝 kelima

196 37 3
                                    

Mark menghembuskan asap rokok yang sumbunya berada diselipan antara jari tengah dan jari telunjuknya. Matanya yang tajam makin menajam menatap ujung lorong gang dalam kegelapan yang penyinarannya hanya mengandalkan satu lampu meremang yang mungkin akan mati sebentar lagi.

Tubuhnya menyandar sepenuhnya ditembok keropos yang ada dibelakangnya. Bau sampah nampak menyambangi indra penciuman lelaki itu, tetapi nampaknya ia dengan wajah apatisnya seolah tak terganggu akan bau menyengat tersebut. Kepalanya menunduk, menatap sepatu converse kumuh yang melindungi kedua kakinya dengan dengusan pelan. Bukannya tak mampu beli, hanya saja ia terlalu malas pergi ke toko sepatu sendirian.

kalau dulu, mungkin ada Lula yang menemani. Sekarang situasinya sudah berbeda. Mark mendengus lagi kala ingatannya malah tertuju pada gadis yang mungkin saja saat ini sedang terlelap dalam mimpi indahnya, meringkuk dengan napas teratur sembari tersenyum membayangi mimpi yang mengunjunginya. Mark boro-boro seperti itu. Malam adalah jam dimana ia bebas melakukan hal yang bisa melepaskan penatnya.

drap

drap



Langkah itu terkesan dingin dalam pendengarannya. Mark menoleh, menegakkan punggung kala bayangan hitam besar itu melangkah dari gang penuh kegelapan diujung sana bersama dengan derap langkah kaki yang menemani. Dibuangnya batang rokok yang masih ada setengah itu dan menginjaknya dengan perlahan hingga abu itu mati dan asap perlahan keluar, menghilang bersamaan dengan udara yang menyapu.

Cahaya temaram yang berasal dari atas kepala Mark menyinari lelaki bak tiang yang kini berdiri menjulang dihadapannya. Bibirnya yang penuh, alisnya yang terbingkai dengan sempurna, garis rahangnya yang kokoh, serta tatapan tajamnya yang menyapa sosok Mark yang kini kembali menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya itu. Sebelum suara berat milik lelaki itu keluar, menghampiri indra pendengaran Mark seketika,

"wassup,"kata Lucas, lelaki yang menjadi teman dalam separuh umur Mark yang beranjak dewasa itu.

Mark sendiri mengenal Lucas ketika umurnya tepat menginjak 7 tahun kala itu. Tidak ada yang spesial dalam perkenalannya dengan lelaki setinggi tiang itu, seolah-olah Tuhan memang sudah menyusun skenario akan ada hari dimana dua anak adam itu bertemu dan menjalin pertemanan bahkan sampai di usia mereka yang sudah menginjak 18 tahun ini. Mark mengenal baik kedua orangtua Lucas, pun begitu sama halnya dengan Lucas yang mengenal baik ayahnya.

Mereka berada di SMP yang sama saat itu, tetapi setelah lulus, Lucas memilih untuk homeschooling dan meninggalkan Mark sendirian dalam sekolah formalnya. Mereka tetap berteman, hanya saja ada sisi Lucas yang tidak Mark mengerti. Bahkan, mungkin sampai sekarang.

"gue nggak suka basa-basi,"Mark menegakkan tubuhnya, menatap Lucas dengan dua matanya yang menyipit tajam memandangi lelaki tinggi itu. "Apa yang lo lakuin sama Lula dan foto itu? Kenapa bisa nyebar tiba-tiba?"

Hanya tawa yang Mark dapati dari lelaki berkulit cokelat eksotis itu.

Mark mendengus kasar, tidak mengerti letak dimana kelucuan dari perkataan yang ia lontarkan pada lelaki itu. Mark sedang tidak ingin main-main atau dipermainkan. Sebenarnya ia lelah dikejar waktu. Sudah saatnya mungkin dia berhenti untuk memojokkan Lula dan mempermainkan status hubungan mereka. Mark tidak tahu apa sebutannya, tapi ia tidak suka ketika lelaki bernama Dejun mulai menaruh atensi berlebih pada gadis itu.

"lo suka sama dia,"

tepat, Mark tidak tahu apakah itu sebutan yang pas untuk dirinya seperti apa yang Lucas lontarkan barusan. Tetapi Mark tahu, dia tidak benar-benar membenci Lula.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(1) MEMORIES.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang