Part 3

3K 166 4
                                    

Ruangan bergemuruh, ketika seseorang yang duduk di barisan paling depan, maju melangkah dengan tenang naik ke atas panggung. Melambaikan kedua tangannya, lalu berdiri di belakang podium. Sejenak pandangan matanya yang tajam menyapu seluruh sudut ruangan, seolah hendak memastikan, sesiapa saja yang datang menghadiri acara reuni yang dia gagas ini.

Deg. Tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Segera aku menunduk. Beristighfar. Tak ingin terseret arus tatapan yang menggetarkan itu.

"Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarrokatuh." Johan memulai dengan salam. Semua menjawab salamnya dengan kompak dan semangat. Sedang aku hanya menjawab dalam hati saja. Sungguh, aku tak berani dan tak mau mendongak, melihatnya berbicara di depan sana.

Tetiba aku merasa tidak nyaman berada di ruangan ini. Untuk menetralisir perasaanku yang mulai gelisah, kucoba meraih ponsel. Membuka laman facebook. Nampak beberapa notifikasi yang belum sempat kubaca. Alhamdulillah ... tulisanku yang berjudul "Cara Mudah dan Sederhana Mengenali Emosi Anak" sudah dimuat di salah satu portal Islam favoritku. Membuatku semakin tenggelam dengan gawaiku.

Aku tersadar, saat semua hadirin bertepuk tangan. Untuk pertama kalinya, aku mengangangkat wajah lalu memandang berkeliling. Ternyata acara kata sambutan dari ketua panitia telah usai. Kulihat Johan sudah turun dari panggung, entah apa yang dia sampaikan tadi. Aku tak menyimak.

"Sekarang acaranya bebas. Yuk, kita duduk di tepi kolam renang itu," tunjuk Lela, mengarah ke sederatan kursi malas yang tertata rapi mengelilingi kolam. Belum sempat beranjak dari duduk, beberapa orang teman menghampiri kami. Ada Amel yang selalu tampil modis dan anggun. Jika dulu kerap memakai rok sedikit di atas lutut. Kini sudah menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, meski kerudung yang dipakainya tidak terlalu panjang atau lebar. Di kelas dulu, dia gadis yang paling menarik, termasuk golongan "papan atas" karena pembawaannya yang supel dan lincah. Sering dia mengungkapkan kecemburuannya padaku, karena tak sanggup menyaingiku memperebutkan rangking satu. Dia terpaksa harus puas di posisi rangking tiga, setelah Johan.

Menyusul muncul Ara, Ely, Nita dan Asri. Kami saling mengucapkan salam, cipika-cipiki dan berpelukan hangat. Melepaskan rindu yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dalam hati. Kini teman-teman perempuanku semuanya telah berjilbab. Sebagai tanda hidayah Islam sudah menyentuh qolbu mereka. Semoga saja pengetahuan dan wawasan keislamannya juga semakin bertambah, do'aku.

"Hai,  Mawar. Apakabar? Ckckck ... makin cantik dan tetep langsing aja, nih." Amel menatap dari ujung kepala hingga sepatu hitamku. 

"Bisa aja. Ah, kamu dari dulu emang selalu berlebihan." Aku meringis. 
Jujur, aku memang tidak terlalu suka dipuji. Khawatir apa yang mereka sangkakan, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Karena aku merasa banyak sekali kekurangan. Yang apabila diketahui orang, akan membuat aku malu tujuh turunan. Halah, lebay lah.

"Sudah berapa orang momongan?"
Ara memulai percakapan ke arahku. Aku kembali meringis, tersenyum getir.

"Belum ada," sahutku pendek, hampir tak terdengar.

Semua terdiam. Saling berpandangan, seakan turut bersimpati dengan apa yang kualami.

"Apa ada masalah kesehatan di antara kalian berdua?" Amel bertanya penuh perhatian.

"Alhamdulillah, kata dokter ahli kandungan, kami berdua sehat. Hanya mungkin butuh waktu dan usaha yang lebih maksimal lagi, untuk segera punya anak." Aku berusaha untuk selalu bersikap tenang dan biasa saja, jika pertanyaan ini muncul. Walau bagaimanapun naluri keibuanku, terus merindukan hadirnya sang buah hati. Sebagai penolongku di hari perhitungan nanti. Karena berkat do'a anak-anak yang sholeh dan sholeha yang lahir dari rahimku.

"Ooo ... lah, ya, pantes masih langsing sinset begini. Lha, belum pernah bongkar mesin, sih," celetuk Ely mencairkan suasana.

"Apatuh, bongkar mesin?" tanya Nita dengan wajah polosnya. Mendengar pertanyaan itu, kami semua tergelak. 

"Ya, ampun, Nita. Kamu, tuh, ya. Selalu aja kudet dengan istilah bahasa gaul zaman now." Asri meledek.

"Bongkar mesin, tuh. Istilah untuk kata melahirkan, Mak Nita." Lela menimpali. Nita mengangguk-angguk, sambil menggaruk jilbabnya.

"Ah, nggak gitu juga kalee. Buktinya aku, nih. Meski sudah punya lima orang anak, tetap masih langsing terus nggak pernah melar." Ely menyela.

"Kalo kamu, emang dari dulu termasuk species kutilang alias kurus tinggi langsing, hihihi."
Kami terkikik geli mendengar jawaban Asri.

"Sudah, sudah. Kok kita jadi ngebahas masalah body, sih." Amel melerai.

"Trus ... kamu sekarang kerja di mana, Mawar?" sambung Amel lagi.

"Aku nggak kerja, cuma di rumah aja."

"Loh, sayang dong. Perempuan pinter seperti kamu nggak kerja, apa nggak bosen cuma di rumah aja?" selidik Ara.

"Alhamdulillah dengan di rumah aja, aku punya banyak waktu mengurus Mas Han suamiku. Untuk mengisi waktu luang, aku menulis free line di sebuah portal Islam."

"Oh, ya? Tulisan tentang apa?" Asri bertanya antusias.

"Parenting."

"Rasanya nggak pernah danger ada nama Mawar di tulisan parenting?" Amel terlihat bingung.

"Iya, aku malah sering baca ilmu parenting dari tulisan Kamila." Ara menambahkan.

"Betul. Kamila itu nama penaku."

"Wah, hebat kamu, ya. Udah jadi penulis terkenal. Eh, tapi kok bisa kamu begitu lihai menulis tentang parenting? Padahal kan belum punya anak?" tanya Ara lagi.

"Terkadang, seorang penulis tidak selalu harus mengalami dulu, apa yang hendak dia tulis. Cukup mencari referensi dengan membaca atau mendengar pengalaman orang-orang disekitarnya,"  jawabku menjelaskan.

"Ooo ... jadi begitu, ya."

Semua mengangguk membenarkan.
Pembicaraan pun terus berlanjut semakin seru, khas emak-emak masa kini. Setelah puas berhaha-hihi, Amel dan yang lainnya melangkah keluar aula menuju tepi kolam renang.
Di sana sudah berkumpul semua teman. Mereka sibuk menyiapkan acara makan siang, dengan membakar ikan di beberapa tungku yang telah disediakan. Aku dan Lela bermaksud hendak bergabung dengan mereka. Tapi entah kapan datangnya. Tiba-tiba sosok Johan sudah berdiri tegap di hadapan kami. Aku terkejut bukan main, tak mengira dia akan menghampiri kami. 

"Lela ... bisa tinggalkan kami sebentar," pintanya to the point. 
Lela memandangku ragu, meminta persetujuan. Aku menggeleng cemas. Berharap semoga Lela tidak meninggalkanku.

"Please, Lela. Ada hal penting yang harus kami bicarakan." Kali ini nada suaranya lebih tegas.
Aku semakin cemas, mendadak tubuhku terasa lemas karena nervous.

"Oke. Mawar. Aku ke sana dulu, ya. Kalo ada apa-apa nanti, panggil aku."
Lela melambaikan tangannya dan segera berlalu.

Kisah selanjutnya baca di NovelToon, ya, Gaes.
Sampai jumpa di sana. Jan lupa votenya😄

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menikahi Mantan Palyboy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang