Kegamangan itu pun berlarut. Beberapa hari yang lalu aku mendapat telepon dari ayahku di Padang. Ayahku bilang kalau adik ibuku sekarang dirawat di rumah sakit. Sakitnya telah parah. Hatinya mengalami kerusakan parah karena kelelahan bekerja. Tiga tahun ditinggalkan suaminya membuatnya harus benar-benar banting tulang membiayai ketiga anak-anaknya sekolah dengan berjualan lontong, lotek, dan makanan untuk sarapan lainnya di depan rumah. Biasanya, aku dan adik-adikku yang bekerja di Jakarta sering mengirimkan uang bulanan ke Padang. Selain mengirim untuk ayah, kakakku yang di Padang, juga untuk ketiga anak adik ibuku itu.
Etek. Begitu adik ibuku itu kupanggil. Tiga tahun yang lalu suaminya mendadak sakit dan dibawa ke rumah sakit. Selang beberapa hari kemudian suaminya meninggal lantaran salah obat. Ini yang aku benci dari rumah sakit. Memberikan obat seenaknya tanpa melihat lebih dalam apa sebenarnya penyakit pasien. Dokternya juga memeriksa sekedarnya. Entah karena memang terlihat jelas keluarga kami miskin dokter sepertinya tidak terlalu memberikan perhatian yang seharusnya seperti janji sucinya sebagai seorang dokter dalam melayani manusia.
Dua minggu setelah kematian suami Etek, berikutnya One, nenekku, yang dipanggil Tuhan. Usinya memang sudah sangat tua, sembilan puluh tahun. Di usia senja itu sebenarnya dia cukup kuat. Tubuh kurus yang masih bisa berjalan dan pandangan yang masih jelas. Mungkin karena sudah takdirnya, akhirnya, pada malam yang masih dalam suasana berkabung, Oneku itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam kesenyapan kamarnya yang muram. Saat itu, hanya Etekku yang menyadarinya ketika sebelumnya, menyempatkan diri melihat ibunya itu ke kamarnya, memanggil-manggil nama beberapa anaknya dengan suara tuanya yang lemah. Ada perasaan ganjil yang getir saat itu dirasakan oleh Etekku. Dan benar, ketika azan subuh berkumandang, sebagaimana Etekku sudah berkubang di dapur untuk mempersiapkan dagangannya, menyadari bahwa Oneku itu, ibunya, telah tiada.
Sungguh, baginya,tidak lagi ada air mata. Karena air mata yang ditinggalkan suaminya yang telahpergi untuk selamanya sudah habis terperas. Kini ibunya, satu-satunya tempatdia mengadu hidup, juga akhirnya pergi tak kembali. Entah mengapa aku merasakankepedihan yang dirasakannya melebihi batas yang dapat ditanggung manusia.Sementara itu, saat itu, ibuku juga sedang dirawat di rumah sakit. Penyakitnyadiabetesnya yang akut dan parah telah menjalar menjadi komplikasi ginjal danjantung hingga dokter dengan entengnya mengatakan ibuku harus cuci darah-sebuahvonis yang saat itu membuatku nyaris pingsan.

YOU ARE READING
It's Life
Ficción GeneralSebuah kisah tentang perjalanan hidup anak manusia. Ada tawa bahagia juga ada kesedihan dan airmata. Selalu ada hikmah di balik semuanya. It's life. Enjoy it!