Ini sudah hari ketiga bulan puasa. Kebiasaanku tidak berubah sejak dulu. Barangkali juga kebiasaan kebanyakan muslim di negeri ini. Bangun siang sehabis tidur setelah sahur dan subuh. Memang tidak bisa dihindari. Mata begitu berat setelah makan sahur. Dan kebanyakan orang memang akan segera tidur jika tidak ada rutinitas wajib pada pagi harinya seperti pergi sekolah, kerja atau, aktifitas lain.
Dan bulan ini adalah bulan kelima aku menetap di Bandung setelah sebelumnya aku memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaanku di Jakarta. Meninggalkan karir yang sudah mapan di sana. Juga meninggalkan lingkungan kerja dan teman-teman yang sudah kuanggap layaknya saudara.
Di Bandung, seperti yang sudah kuduga sebelum mengundurkan diri, aku akan punya lebih banyak waktu luang di rumah sambil menunggu pengumuman penerimaan S3 di bulan Agustus nanti. Sementara itu, kesibukanku mengajar di suatu universitas swasta di Bandung tidak terlalu padat, hanya dua kali seminggu dan itu juga tidak sampai satu hari penuh.
Barangkali ada kebosanan juga, menjalani rutinitas yang tak begitu padat,lebih banyak waktu luangnya, dan seringkali mengulang kegiatan yang sama setiap harinya. Jika tidak belajar mempersiapkan S3, ya membaca buku, masak, dan menjemput istri.
Seringkali juga aku mengeluh dengan keadaan, tentang kebosanan aku berada di rumah seharian menunggu jadwal mengajar beberapa hari lagi yang juga tidak terlalu banyak membutuhkan persiapan, juga tentang jauhnya pendapatanku dibanding ketika aku masih bekerja di Jakarta dulu. Perasaan rendah diri sebagai suami pun muncul. Entah mengapa aku merasa tak berarti dengan segala yang kupunya. Pendidikan, kemampuan, dan hal lainnya.
Meskipun istrikutidak mempermasalahkan kondisiku saat ini, tetap saja aku merasa sedih dankadang sempat menyesali keputusanku mengundurkan diri dari pekerjaanku.Sebenarnya, yang membuatku sedih bukanlah kekurangan nafkah yang kuberikan padaistriku. Sebaliknya malah istriku sendiri juga bekerja dan gajinya jauh lebihbesar dibanding gajiku yang dulu.
Namun, pekerjaanku di Bandung, sebagai dosenparuh waktu tidak dapat membuat kondisi keuanganku secara pribadi leluasaseperti dulu. Aku tidak bisa lagi membantu adik-adikku untuk berkirim uangbulanan ke kampung, aku juga tidak bisa lagi beli ini-itu seperti yang dulusering kulakukan. Ditambah Agustus depan program S3 mulai berjalan, aku jadisedikit gamang memikirkan bagaimana nanti kesanggupanku membayar uangperkuliahan sementara aku memilih jalur pembiayaan pribadi walau istriku seringbilang uang untuk itu sudah ada.
YOU ARE READING
It's Life
General FictionSebuah kisah tentang perjalanan hidup anak manusia. Ada tawa bahagia juga ada kesedihan dan airmata. Selalu ada hikmah di balik semuanya. It's life. Enjoy it!