Orang-orang Terkasih Yang Telah Pergi

4 0 0
                                    

Dua minggu setelah meninggalnya Oneku, ibuku pun akhirnya menyusul. Belum selesai sewa tenda kematian yang dipancang di halaman rumahku saat itu, sekarang tenda itu harus disewa lagi. Ibuku meninggal dalam keadaan tubuh bengkak karena tidak sempat cuci darah. Tubuhnya tidak kuat menanggung luka belekan di bawah lehernya dan beberapa obat yang masuk ke tubuhnya menjelang program cuci darah.

Tak sampai beberapa saat setelah belekan di bawah lehernya, tubuhnya berkelejatan dengan mata yang berkedip cepat, meregang menahan sakit menerima obat anti kejang. Kedua adikku yang menemani waktu itu hanya bisa pasrah dan berurai air mata, tak sanggup melihat ibuku menanggung sakit. Kepedihan apa lagi yang bisa lebih menyakitkan daripada ibu tercinta yang terbaring lemah sekarat? Hanya satu doa yang mampu kami lafazkan kala itu.

Dengan bibir dan dada yang gemetar, tangan yang menggigil menangkup di dada, sederet doa pun dengan terbata kami bisikkan. Ke dalam dada kami, tempat yang paling dalam dari jiwa kami, dimana mungkin Tuhan mendengar pinta kami di sana. Tuhan, jika ini saatnya Engkau mengambil Ibuku, ambillah nyawanya dengan cara yang baik, jangan biarkan dia tersiksa, anugerahkanlah kepadanya kematian yang lapang.

Beberapa saat setelah doa itu terucap dari bibir yang basah oleh air mata dan isak yang tertahan, ibuku pun akhirnya menghembuskan nafas panjang. Sangat panjang hingga ke kedalaman yang tak lagi terjangkau. Ibuku akhirnya pergi. Tak kembali. Menyusul Oneku, menyusul suami Etekku, menyusul orang-orang terdahulu di keluarga kami. Ke alam yang tak sanggup terkunjungi oleh manusia. Alam baka.

Ketiganya menghadap Ilahi dalam waktu yang hampir bersamaan. Bisakah kau bayangkan bagaimana tercabik-koyaknya luka perasaan kami kala itu, perasaan Etekku, ayahku, kakak-kakakku, adik-adikku, dan aku sendiri? Orang-orang yang kami cintai pergi tak kembali dalam waktu yang nyaris berdekatan? Belum kering air mata ini takdir pun dengan kejam memerasnya lagi hingga tak ada yang tersisa. Dan sekarang Etekku, yang semasa mudanya telah kepayahan menyambung hidup, terbaring tak berdaya tak sadarkan diri di rumah sakit. Hal ini mengulang kembali kenangan-kenangan pilu kami di rumah sakit beberapa tahun silam.

Aku bukan lelaki yang tegar. Dan aku tak malu mengakuinya. Kabar pilu dari Etekku di padang, membuatku seringkali rapuh dan membuat lututku lemas. Kakakku yang tinggal di Padang, yang kupanggil Iya, sekali waktu menelepon dan menceritakan betapa kritisnya keadaan Etekku itu kini. Cairan mirip bensin telah disedot berliter-liter dari perutnya. Dan penyakitnya itu tak kunjung terangkat. Malah kondisinya makin parah hari demi hari.

Terakhir kabar kudengar akhir-akhir ini Etekku sudah sering mengigau dengan mata tertutup dan berkedip cepat, menyebut-nyebut nama anaknya. Kabar itu membuat jantungku berdegup kencang dan membuatku berkeringat dingin. Kecemasan yang dulu pernah menghantuiku menjelang kematian ibuku, kini seolah terulang kembali. Ketiga anaknya itu, yang adalah adik-adik kontanku juga, entah bagaimana mereka menatap hidup dan masa depan mereka. Ayah yang sudah tiada. Sementara ibu sudah sekarat pula terbaring tak berdaya. Membayangkan mereka yang masih kecil-kecil, belum tahu benar tentang dunia dan kepahitannya, dan bagaimana bergulat menjalaninya, aku jadi sangat pilu mencoba memahami mengapa Etekku menyebut-nyebut nama anak-anaknya dalam igauannya.

Dan karena itu pulalah kegamanganku semakin larat. Praktis tanggungjawab meneruskan pendidikan dan hidup ketiga anak etekku itu jatuh pada kami berlima, kakak-kakak kontannya. Sementara aku di sini, masih bergulat dengan keadaanku sendiri. Bukannya tak bisa membantu, kadang aku sendiri malu meminta uang dari istri hanya untuk sekedar mengirimkannya ke Padang, jika hanya dengan cara itu aku bisa membantu, yang sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh istriku sendiri.

It's LifeWhere stories live. Discover now