Kerinduan Yang Telah Pecah

5 0 0
                                    

Mengingat semua yang telah terjadi di perjalananku menuju hari ini, kadang tersisip sebuah tanya yang mungkin sedikit banyak menyentakkan keimananku sendiri. Apakah Tuhan memihak pada kami? Kadang aku berpikir pula, apa kesalahan dan dosa yang telah kami perbuat hingga jalan takdir yang kami lalui seberat ini?

Terlebih ketika mengenang kenangan gelap beberapa tahun silam, ketika kakakku, Iya, sedang berada di puncak sakitnya sebagai seorang skizofrenia. Dia berjalan kemana-mana tidak betah tinggal di rumah, melempar piring ke halaman dengan mata membelalak marah, dan mulut yang menghamburkan sumpah serapah. Itulah masa-masa paling gelap dalam hidupku.

Ketidaktahuan kami akan penyakit ini membuatku kakakku itu terlambat dibawa ke rumah sakit jiwa. Kami mengira kakakku itu terkena guna-guna dan kerasukan jin jahat yang suka mengamuk. Jika diingat-ingat sekarang, betapa mengerikannya dia dulu dan betapa pedihnya hidup yang kami jalani. Tubuhnya yang kurus menerjang kuat tak bisa dibendung. Jadilah kami berempat, bersama ibu waktu itu, menahan, menindih, dan menampar pipinya ketika dikuasai amarah yang tak terkendali. Ingat sekali waktu itu, tanganku yang kotor ini menampar pipi kakakku itu hingga darah mengucur deras dari sudut bibirnya, yang sejak itu aku selalu menangis menyesali perbuatanku dan berjanji tak akan pernah menamparnya lagi sehebat apapun amarahnya. Aku meremang gemetar jika mengingat semua kejadian itu. Dan dengan cepat memejamkan mataku berharap semua kenangan pahit itu larut bersama bulir-bulir air mata yang jatuh berderai. Penyesalanku seperti tak ada habisnya.

Kedua adikku kala itu, yang terpaksa mengorbankan kuliahnya, menggantikan ibuku menjaga kakakku itu. Saat itu, ibuku sudah mulai sakit-sakitan, tak kuat berdiri, pusing-pusing dan sering berbaring lemah. Kedua adikku itulah yang merawat kakakku. Mengantarkannya ke rumah sakit jiwa, setelah tetangga menyarankan untuk dibawa ke sana. Beberapa minggu sejak itu, kakakku itu mulai membaik. Amarahnya mereda. Sudah jarang mengamuk. Dan tak lagi melempar piring ke halaman.

Jika ada yang bilang setiap penyakit ada obatnya, barangkali, mungkin akulah orang pertama yang akan menyangkal hal itu. Apa yang sudah terjadi dalam keluargaku, penyakit-penyakit yang telah merenggut nyawa dalam keluarga sepertinya memang karena ada beberapa penyakit yang tidak ada obatnya. Termasuk penyakit kakakku. Skizofrenia tak ada obatnya. Sekantong plastik obat yang diberikan rumah sakit padanya hanya untuk membuat otaknya stabil dan sedikit waras juga mengurangi delusi-delusi yang selama ini jadi hantu yang menggerogoti di kepalanya. Sepanjang dia terus meminum obatnya secara teratur, dia bisa diajak bicara, sadar dengan sikapnya dan bisa diajak becanda. Sekali waktu pernah obatnya habis dan luput dari perhatian kami, amarahnya pun muncul lagi, mulutnya menyeracau, sumpah serapah pun berhamburan lagi. Hingga pada akhirnya kami membawanya lagi ke rumah sakit dan terpaksa disuntik rutin selama tiga bulan penuh.

Kabar terakhir dari kakakku itu, lewat telpon dia mengatakan, lebih kepada dirinya sendiri, meski ada sedikit tawa canda seperti biasa, entah mengapa aku menangkap bahwa inilah sisi sesungguh dirinya yang berbicara. Bukan mulutnya yang berbicara tapi kepingan jiwanya yang terkoyak muram di kedalaman pikiran yang berusaha merangkak tertatih ke kenyataan. Dia hanya ingin menyampaikan bahwa dia tak ingin kemana-mana lagi. Dia hanya ingin hidup tenang di Padang bersama ayah menjalani hari-harinya sebagai penyandang skizofrenia dan berusaha hidup berdampingan dengan penyakitnya. Bertahun-tahun penyakit itu telah menggerogoti jiwa dan pikirannya, agaknya telah membuatnya menjadi lebih kanak-kanak meski usianya telah beranjak empat puluh tahun. Kadang dia menangis hanya karena rindu pada kami. Kadang dia juga tertawa berderai mendengar leluconku, seperti tawa yang kurindukan waktu kecil dulu. Sambil merengek dia memohon, sekali waktu pulanglah ke kampung halaman, lihat dirinya, lihatlah pula kuburan Ibu, lihatlah kami di sini. Entah mengapa, permintaannya itu membuat mataku basah. Lalu hatiku tiba-tiba merindukan ibu. Aku merindukan masa kecil dulu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

It's LifeWhere stories live. Discover now