Bab 16

4.6K 440 7
                                    

Sayup-sayup terdengar adzan maghrib berkumandang, Andra meletakkan ponselnya di atas nakas kamar bernuansa pink dan putih milik Rahma.

"Kamu istirahat ya, aku ke masjid dulu," ucapnya pada sang istri.

Akhirnya diputuskan untuk sementara pulang ke rumah Sandra, nanti setelah ujian, baru akan diboyong ke kediaman Ilyas.

"Iya," jawab Rahma.

Andra meraih tangan kanan Rahma, kemudian menggenggamnya erat, mengaitkan jemari mereka. "Dari masjid nanti aku langsung ke rumah Kakek, ada beberapa barang yang harus aku ambil, dan mungkin makan malam di sana karena ada hal yang mau aku obrolin dengan beliau. Jadi makan malamnya nggak usah nungguin aku," kata Andra.

"Hmm," Rahma mengangguk patuh.

"Assalamu'alaikum," Andra mencium punggung tangan Rahma yang dia genggam.

"Wa'alaikumussalam," Rahma menatap Andra yang mulai berjalan ke pintu kamar. Namun beberapa detik kemudian terheran karena dia balik lagi.

"Kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya Rahma.

"Iya ini," kecupan kilat di kening Rahma, sambil tangan kirinya meraih ponselnya yang tadi dia letakkan di atas nakas.

Setelah melakukan hal baru baginya itu, dia memperhatikan wajah istrinya yang memerah dan menunduk malu. Rasanya tak percaya, bahwa gadis di depannya ini adalah istrinya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa dia akan menikah di usia sebelia ini, ijasah SMA saja belum punya, tapi buku berlambang garuda sudah dia kantongi. Hal itu terasa mudah atas bantuan Ustadz Hilmi, karena dia yang notabene seorang ustadz kondang tak akan sulit mendapat keistimewaan di beberapa pejabat pemerintah yang mengurusi segala hal tentang pengesahan pernikahan.

"Kamu bahagia nggak aku nikahi secepat ini?" tanya Andra tiba-tiba.

"Hah? Maksudnya?" Rahma bingung.

"Ya kan harusnya habis ujian baru sah, lah ini? Terkesan mendadak. Jangankan pernikahan indah, cincin aja kamu nggak dapat? Bukannya nggak dapat sih, tapi belum," Andra merasa bersalah.

Rahma terkekeh, " Nggak dapet cincin, tapi kan dapat Ar -rahman," Rahma tersenyum. "Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah maharnya," tambahnya.

"Jadi bahagia?"

"Iya sangat!" Rahma antusias. "Aku pensiun bikin dosa, karena suka lihat kamu diam-diam. Sekarang melihatmu saja, berbuah pahala," Rahma dengan suara lembut dan senyum termanisnya.

"Jangan senyum semanis itu buat cowok lain ya! Aku ini bakal cemburuan!" Andra tak terima.

"Ih, apaan sih? Kamu ini ada-ada saja," Rahma dengan sedikit tertawa. Selama hampir tiga tahun memperhatikan Andra diam-diam, Rahma tak pernah melihat dia yang seperti ini.

"Kalo kamu?" tanya Rahma.

Andra nampak kebingungan, "Aku kenapa?"

"Pernikahan dadakan ini?" Rahma penasaran.

"Kamu pikir ini dadakan? Asal kamu tau, aku sudah berencana menikahimu sejak usiaku masih enam tahun," Andra menerbitkan senyum tampannya.

"Kok bisa? Maksudnya apa?" Rahma makin penasaran.

Andra mengusap puncak kepala Rahma dengan lembut, "Istriku penasaran! Tunggu aja, nanti lama kelamaan juga kamu akan mengingatnya, masa kecil kita, Bunny!" kata Andra yang makin membuat Rahma penasaran.

"Bunny?! Siapa dia?" menggemaskan. Rahma terlihat sangat menggemaskan di mata Andra. Membuatnya ingin mendaratkan bibirnya di dahi yang mengkerut karena penasaran itu. Lagi.

Rasa Yang Tak Bernama (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang