"Ketika ambisi mengalahkan hati nurani." Ini tentang semesta yang menjauh. Tentang hati yang patah. Tentang kehilangan. Tentang menyerah bersama segala luka.
Aleta dan segala keterpurukannya. Varel yang terlampau asik dengan dunianya sendiri. Ethas...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suasana koridor sekolah malam itu terlihat sepi dan terasa begitu dingin. Lampu yang menyala semua tidak mengurangi gambaran mencekam sedikitpun dari lorong panjang itu. Kadang kala, di jendela terdengar bunyi-bunyi gemerisik aneh karena angin kencang dari luar, atau dahan pohon patah yang kemudian terlempar menuju jendela. Langit sedang mendung, sebentar lagi hujan turun.
Bagi siswa-siswi penakut, sekolah bukanlah tempat yang pantas didatangi ketika hari berganti malam. Berbeda dengan mereka yang berani, seperti halnya sepasang manusia yang kini tengah bersitatap di dalam salah satu ruangan kelas. Pembicaraan mereka tampak serius, terlihat dari bagaimana ekspresi anak perempuan yang bisa ditebak sangat tidak menyukai lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan seragam sekolah sudah lusuh akibat seharian beraktivitas.
"Pergi sana," ujar perempuan itu mengusir entah untuk keberapa kali. "Aku nggak mau denger apa-apa lagi dari kamu."
Ethas---panggilan untuk lelaki yang diusir tadi--- menghela napas panjang. Kalau saja Ethas tidak menyakiti perempuan di depannya, mungkin sekarang mereka sedang menikmati waktu dengan bermain sepeda bersama di taman angsa. Perempuan di depannya senang dengan sepeda, pohon-pohon rindang, kemudian hewan ternak. Tidak sulit membuatnya bahagia dengan hal paling sederhana. Tapi ketika ia dikecewakan, maka berkemaslah untuk pergi.
"Ta," panggil Ethas lemah sebab sudah tidak percaya diri lagi. Wajah ditemani seragam putih abu-abu itu kian terlihat lusuh. "Aku cuma mau kamu dengerin penjelasan aku di sini sebelum kamu pergi."
Aleta memutar bola matanya malas, ia sudah terlampau lelah dengan segalanya. "Udahlah, nikmatin aja hidup kamu, biar aku di sini jalanin hidupku sendiri."
"Jangan tinggalin aku dulu, Ta," cegat Ethas refleks memegang tangan Aleta. Namun tanpa diduga, sentakan keras muncul dari gadis itu karena ketidaksukaannya terhadap cara Ethas yang kasar.
"Kamu yang ninggalin aku duluan," balas Aleta dingin. Tatapannya tajam lurus pada manik mata milik Ethas. "Pertama, aku nyesel kenapa nggak pernah percaya sama orang-orang di sekitar kalau kamu emang nggak bener. Kedua, aku nyesel kenapa jadiin kamu laki-laki yang aku sayang setelah ayah. Ketiga, aku nyesel karena udah kenal kamu, Ethas."
Aleta menahan merah di matanya, rasanya menyakitkan sekali kala mengingat kembali apa yang dilakukan Ethas terhadapnya. Kalau fisiknya sekarang sudah terlihat tidak baik, bagaimana dengan hati dan perasaannya? Aleta hanya bingung dan belum bisa mencerna apapun selain kejahatan Ethas terhadapnya. Setelah sekian lama menaruh kepercayaan terhadap lelaki ini, pada akhirnya kepercayaan Aleta dirusak juga.
Aleta ingin melangkah pergi, sampai Ethas menghalang tubuh gadis itu. Jarak mereka terkikis, sehingga Ethas memiliki kesempatan untuk menatap wajah Aleta dari dekat. "Ta, aku pengen kamu dengerin aku dulu."
"Kalau kamu bisa mikir, kamu nggak bakal ngelakuin itu. Apapun yang kamu lakuin, Ethas, kamu pasti ngerti kalau itu salah. Kamu jelas-jelas ngelakuin itu dalam kondisi sadar."