Bab 1

8.9K 766 268
                                    

"Mau seblak."

"Nggak, dah malem."

"Seblak, seblak, seblak, seblak."

"Dah malem, Mon."

"Bodo, gue mau seblak."

Yang lebih tua terpaksa melepas gawai dari genggaman. Kemudian menatap wajah seseorang yang sudah bergelayut manis tepat di pundak kirinya. Iko tersenyum gemas. Belahan dagu Mondy tampak menghilang terbalut tebalnya masker yang anak itu pakai. Dengan poni yang dijepit jedai kecil, wajah Mondy benar-benar tampak menggemaskan.

"Jauhan dikit ngapa, Mon. Jadi nggak rata maskernya kena baju abangk

"Nggak usah mengadi-ngadi, udah kering nih, hm ... hm ...." Dengan brutal anak itu meraba wajahnya.

Chiko tersenyum, lagi. "Makan nasi aja ya. Mager, Mon."

Anak itu lantas menggeleng. "Seblak. Nggak mau tau gue. Pokoknya ini sebagai ganti lo udah buat malu gue sore tadi."

"Ya Allah masih inget aja. Becanda itu, Dek." Chiko kembali menggapai gawai saat suara notifikasi terdengar.

"Oh. Jadi buat gue di ketawain satu lapangan itu becanda? Babi banget si mulut anda." Karena agak kesusahan berbicara sebab maskernya benar-benar kering, Mondy terpaksa sedikit menyeret ucapannya.

Sepertinya Iko terlanjur hanyut dengan dunia gawainya. Penasaran, Mondy pun sedikit lebih mencondongkan kepala.

"Iyi Bili, jinji. Miif yi, mwah. Anjing!" Kedua bibir Mondy sampai berkelok-kelok saat menirukan isi chat yang sedang Iko ketik.

"Geseran dikit, Dek. Bau."

"Nggak ya, masker gue wangi bunga kasturi."

"Bau jigong atuh, Dedek."

Plak!

Iko seketika meraba paha kanannya. Sial, karena memakai boxer pendek, cap lima jari bantet khas Mondy terlihat membekas kemerahan, sangat kontras dengan kulit putihnya.

"Astaghfirullah, apaan, Dek?"

"Seblak. Buru ah."

"Udah malem, cari di mana coba."

"Gang depan, warungnya buk Ijah."

"Udah tutup pasti."

"Deket pabrik yang ada pohon mangganya."

"Kalo tutup juga?"

"Yang deket indomaret."

"Kalo tutup juga?"

"Lo cari rumahnya terus suruh buatin gue seblak satu yang pedes banget nggak pake bacot!"

Iko refleks elus dada. Lihatlah, bahkan tempat-tempatnya pun anak itu sudah hapal. Dengan gaya maskernya yang mulai retak juga bibir yang nyaris menyerupai paruh burung, Iko sudah mewanti-wanti diri agar tidak melakukan aksi kekerasan.

"Besok ngapa, mau telponan ama Bila ini."

"Serah lah, bete gue."

Dengan cepat Iko menahan lengan anak itu. "Ehhh, mau ke mana."

"Beli seblak!"

"Iya, iya. Tapi ada syaratnya."

"Paan?"

ChiMonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang