Bab 10

3.1K 459 127
                                    

Chiko duduk termangu di sebuah kursi kecil. Sepasang mata tajamnya enggan beralih dari atensi Mondy yang masih terlelap di brankar hadapan. Selang oksigen tampak menyumpal kedua lubang hidung remaja itu. Sesekali, jemari panjang Chiko tergerak mengusap peluh yang timbul di area dahi Mondy.

"Gimana? Udah dipikirin, Ko? Waktu terus berjalan lho. Lebih cepat 'kan lebih baik, kasihan adek kamu entar," ujar seseorang yang tengah sibuk mengecek jalur infus Mondy.

Chiko menggeleng lalu menunduk. Remaja jangkung itu bingung, apa yang harus ia lakukan. Kenapa sang adik bisa sampai seperti ini?

"Tim kesehatan cuma bawa satu oksigen portable, karena kita nggak nyangka bakal ada kejadian gini. Takutnya pas tabung ini abis, adek kamu masih butuh. Darah dia juga rendah banget," ujar wanita itu lagi.

"Papa enggak bisa dihubungi, Mbak."

"Udah coba hubungi mama juga?"

Chiko lantas terdiam. Itu inti masalahnya. Laki-laki beralis tegas itu terlampau paham apa yang akan terjadi jika ibunya lah yang menjadi tempat pengaduan.

"Ko?" Jihan, wanita itu mencoba menepuk bahu tegas Chiko guna mencari jawaban. Tapi tetap, si empu terus menunduk dengan tangan tampak saling mengepal.

"Duh, gimana, yah. Mbak sebenernya udah konsul ke panitia sama pembimbing, mereka bilang nggak mau ambil resiko acara gagal hanya karena satu orang. Inti acaranya aja belum di mulai, 'kan."

Chiko menggeleng gusar lalu mendongak. Memberanikan diri untuk menyuarakan kegelisahan yang sedari tadi menyarang. "Adek gue nggak keracunan 'kan, Mbak?"

"Kayaknya sih enggak. Cuma mbak ya nggak tau pasti juga. Yang jelas darah dia rendah banget sama tarikan napas yang lumayan lambat. Takutnya kalau dibiarin makin parah."

Refleks tangan Chiko mengepal erat. Diraihnya gawai yang sempat ia letak paksa ke sisi brankar Mondy lalu men-dial salah satu kontak teratas yang ia punya. Ia tak punya banyak pilihan.

'Halo? Ada apa malem-malem telpon? Untung mama belum tidur loh.'

Rahang Chiko langsung mengeras. Matanya menatap fokus raut wajah Mondy yang terlihat pucat. Ia tak tahu ini akan berhasil, tapi yang jelas, ia akan berusaha.

"Ma, papa mana?"

'Papa belum pulang. Ada apa?'

"Mondy sakit."

'Hah, 'kan udah mama bilang, kamu nggak usah ikut. Kamu tau 'kan kerja anak itu cuma bisa ngerepotin kamu terus. Ngeyel, nggak pernah denger kata-kata mama!'

Chiko meremat celana yang ia kenakan sembari memperdalam tundukan. Wanita di samping langsung mengerjab kaget. Terlalu naif bila berkata, ia tidak mendengar suara yang berbaur lantang dengan keheningan itu.

"Ma, tolong. Mondy bener-bener lagi sakit."

'Mama enggak peduli. Bilang sama dia jangan manja, udah tau sakit ngapain sok ikut?'

"Ma ...."

'Ko, denger mama. Anak itu udah kebiasaan kamu manjain. Apa-apa diturutin, sakit dikit berasa lagi sekarat. Kamu jangan mau dibodoh-bodohi. Udah lah, mama capek mau istirahat.'

"Tolong, Ma. Seenggak nya suruh seseorang buat jemput atau apa gitu."

'Ini udah malam ya, Ko. Jangan buat repot. Siapa yang mau jemput ke puncak jam segini? Enggak kerjaan. Emang parah banget sakitnya? Kena flu burung apa gim—'

Chiko menarik napas, sangat dalam. Cukup, ia tak lagi bisa menahan hasrat yang menggila di benak. "IYA! MONDY SEKARAT!"






— ChiMon —

PART LENGKAP TERSEDIA DI KARYAKARSA
(Klik link bio wattpad Rada21_myg)

Cek komentar untuk melihat isi tanggapan pembaca.

ChiMonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang