Bab 4

3.6K 547 163
                                    

Dari sekian banyaknya hal, salah satu hal yang paling Mondy suka adalah kasih sayang Chiko. Lelaki berahang tegas nan sabar yang selalu ada di saat ia sulit. Chiko selalu mengulurkan tangan, memberi penenang lewat pergerakan kecil dan untaian kalimat hangat. Mondy tak pernah bosan, sebab semua yang telah Chiko lakukan padanya telah berkamuflase menjadi candu. Candu yang selalu membuatnya dililit rasa nyaman.

Seperti pagi ini, Mondy bangun dengan posisi tubuh terdekap erat oleh kedua tangan kekar sang kakak. Kepalanya terasa nyaman berada dalam lekukan ketiak Chiko. Harum khas tubuh laki-laki itu lantas menyergap indera penciuman Mondy. Lagi dan lagi, kakaknya itu selalu tau apa yang sedang ia butuhkan.

Tuhan seakan memberi rasa sakit beserta penawarnya. Selalu, setelah hatinya dibanting oleh kalimat-kalimat sarkas sang ibu, Chiko selalu datang guna mengulurkan tangan. Perlahan, hatinya yang remuk mulai ditata kembali oleh perlakuan-perlakuan manis. Walau sebenarnya, Mondy lelah akan keadaan gila yang terus terulang ini.

"Shh ... bego! Sakit, Anjim!" Mondy lekas mengelus dagu, melayangkan tatapan tajam ke arah Chiko yang baru saja mendaratkan sentilan pedas di sana.

Bukannya merasa bersalah, si empu hanya tersenyum lebar lalu kembali menarik dekapan yang terasa mengendur. "Maap, khilap. Abis bengongnya ngegemesin, Dek."

"Hih, apaan sih, Anjing. Lepas, Ko. Abab lu bau tai onta." Mondy menggeliat kencang. Sesekali memukuli tangan kekar Chiko yang tak kunjung merenggang. Hanya karena harga diri, kadang hati dan pikiran tak bisa saling bekerja sama.

"Nggak mau ah, udah nyaman."

"Anjing! Geli, Ko, bangsat!"

"Kenapa abab lo malah bau obat sih, Mon? Jadi pengen cium." Chiko memaku tatap pada bibir tebal kemerahan milik Mondy. Bagi Chiko, tak ada momen yang lebih menyenangkan selain menjahili sang adik.

Bulu kuduk Mondy lantas meremang. Ada gelenyar aneh hadir memenuhi perutnya. Dengan gigi saling menyatu, remaja itu lantas mengangkat tangan lalu menampar wajah penuh aura kemesuman sang kakak dengan seluruh tenaga yang ia punya.

"ALLAHUAKBAR, PEDES, MON!"

Refleks kunkungan pun terlepas saat Chiko mulai fokus dengan pipinya yang tampak memerah. Ambil kesempatan, Mondy langsung beringsut mundur sambil menggosok belakang lehernya yang meremang. "Sumpah, geli banget gue, Anjing."

"Tenaga lo kuat banget, Mon. Sumpah. Udah nggak usah repot-repot belajar, nguli aja biar dapet duit." Tak bisa Chiko pungkiri, pedas yang menjalari pipi benar-benar menimbulkan sensasi panas.

"Bodo. Untung aja nggak mata lo yang gue congkel, terus gue telen. Dasar gay."

Chiko mengamati tubuh kecil Mondy yang berjalan cepat ke arah kamar mandi dan mulai tertelan pintu. Seulas senyum lantas terbit. Hari indah yang hadir sesuai dengab harapan. Chiko berhasil mengembalikan apa yang seharusnya. Mondy kembali menjadi Mondy-nya. Tak ada raut murung, tak ada raut sedih. Semoga semua luka dan bekasnya lekas enyah dari hati remaja itu.

"Mon, mandi bareng, ya?"

"LO MASUK LANGSUNG GUE BUNUH PAKE GAGANG GAYUNG!"














-ChiMon-














Bagi Mondy, kenikmatan yang paling nikmat di antara yang paling nikmat adalah makan. Kembali ia seruput titik penghabisan kuah mie rebus buatan ibu kantin. Sensasi gurih nan pedas lantas berkerumun memanjakan mulut. Ditutup dengan tegukan jus semangka favorit, Mondy lantas bersendawa. Membuat beberapa siswa yang duduk di dekatnya sempat memaku tatap.

ChiMonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang