Sabun Daun Sirih

94 28 34
                                    

Payung hadir dan mengerti, jika hujan membenci menyakiti dia.

*****

Devisa berlari di pekarangan rumah yang tampak asri, seragam yang tadinya rapi dan licin telah kusut.

Seorang wanita paruh baya melangkah ke depan,hendak memanggil anak gadisnya untuk sarapan. Mengingat waktu yang semakin melaju. Namun apa yang dilihatnya membuat ia melotot tak percaya. Dengan cepat menghampiri Devisa yang terus berlari kian kemari, hingga melupakan jika waktu semakin menghimpit untuk pergi ke sekolah.

"Heh, punya anak perempuan gini amat, nggak tau apa tulang belakang bibi hampir copot nyuci mulu." ucapnya melipat tangan di dada,

"Maci nggak liat, mendung bentar lagi hujan!!" Aku mendongkak berharap hujan segera turun.

Awan gelap seakan membawa kebahagian tersendiri bagi Devisa. Sedari kecil ia memang sangat menyukai hujan hingga keluarganya selalu memanggil Devisa dengan sebutan Princess of the rain.

"Ketika lo mencoba sesuatu dengan berani, maka rasa sakit yang di timbulkan pun menjadi rasa bahagia buat lo"

"Masuk nggak, mau pakai rompi kuning juga!!" Ibu telah hilang kesabaran, ia menujukan kepalan tangannya dan memberi pelototan tajam padaku.

Aku menaikan kedua jari tanda peace, lalu berlari masuk ke kamarku untuk mengganti seragam yang baru.

"Semangat banget menunggu hujan, rencana banget nggak sekolah!!" Aku yang kini telah siap pergi ke sekolah mendongkak menatap Devon yang masuk ke kamarku.

"Ngapain ke kamar gue, inget ya gue masih marah sama lo." Devon cengengesan lalu berkata. "Lah udah jambak rambut gue ampe kalor setengah masih marah juga." Devon membongkar isi nakas Devisa.

Devisa yang sedang memakai sepatu pun berteriak kesal. "Heh, awas aja kalau keluar nggak beresin nakas gue!! gue gundulin kepala lo!!" dengusku sebal.

"Vitamin rambut lo mana?" tanya Devon mencari vitamin rambut.Kepalanya sakit jika memakai pomade, rambutnya cocok menggunakan vitamin rambut.

"Atas lemari, belum gue pakai!!" balasnya. Devon melangkah ke lemari, tangannya terangkat mengambil sebuah botol kecil.

Kemudian ia berdiri di depan kaca dan memakainya. Devon kebingungan saat rambutnya basah, ia mengacak rambutnya bukannya licin dan tertata rapi, malah berbusa seperti sedang memakai shampo.

"Ini apaan sih, kok busa yang keluar di rambut gue?" Devon memandangi botol kecil itu lalu membolak-balik kemasan yang ia sendiri tidak tau itu untuk apa.

Devisa menatap Devon dan tatapannya jatuh pada botol kecil itu, mulutnya mangap. Tawanya pecah saat itu juga, Devon semakin bingung melihat Devisa tertawa.

"Lo bego banget sih jadi orang, nggak bisa baca!! Itu sabun daun sirih." Devisa mengambil cepat botol sabun daun sirih setelah itu menyimpangnya di laci.

Devon mengeram kesal, dengan cepat ia berlari ke kamar mandi dan mencuci rambutnya kembali.

Devisa mengambil tas dengan tawa yang masih mengelegar. Ia turun dengan perasaan begitu bahagia. Dari depan rumah ibunya memberi uang jajan, tak lupa Devisa memberi salam lalu bergegas masuk ke dalam mobil.

Devisa mengendarai mobilnya begitu pelan, ia menikmati setiap rintik hujan yang turun walau tidak langsung. Ada perasaan lega ketika bunyi rintik hujan mendengung di telinganya.

Tak terasa, mobil Devisa terparkir sempurna. Sebuah payung berwarna biru bermotif langit mencegah basah di tubuh Devisa, tanpa ia sadari seseorang berlari dan berteduh di bawah payungnya.

"Eh...." Devisa tertegun menatap seorang cowok kini berdiri di sampingnya, berbagi payung bersama. Cowok itu berpostur tinggi dan tegap.

Tangan masih sibuh mengibaskan seragam yang basah. "Maaf ya, saya tidak ada payung." Devisa terkesiap, tak hanya tampan, ia juga sopan.

"Saya boleh minta tolong, antarkan saya ke ruang kepala sekolah?" Ia bertanya tanpa memandang Devisa.

Devisa merasa dongkol, wajah cantiknya kali ini di abaikan begitu saja. Bukan apa, tetapi banyak yang mengagumi dirinya.

"Kalo ngomong bisa nggak liatin muka gue!!" Devisa menghentakan kakinya kesal.

Bukan matra, namun mata mereka telah bertemu. Netra hitam pekat itu menatap wajah Devisa dengan tenang.

Devisa memasang raut wajah sedatar mungkin, jujur ia ingin tersenyum saking bahagianya dia ada cowok ganteng masuk ke sekolahnya.

Devisa menunduk dan tersenyum jahil, ia akan membuat dia jatuh cinta padanya. Entah dengan cara bagaimana. Yang penting dia harus menjadi kekasih Devisa.

"Hm... gue antar lo di koridor aja, bisa menguap gue nantinya!!" tanpa malu Devisa mengatakan itu, kemudian Devisa memegang tangan cowok itu.

"Nama lo siapa ?" ucap Devisa melangkah membimbing cowok itu.

Koridor sekolah tampak sepi, hanya beberapa siswa yang berlalu lalang. Devisa menutup payung sambil melirik kiri-kanan.

Hari ini pasti banyak yang memakai rompi orens pikir Devisa menunggu jawaban dari cowok di sampingnya.

"Makasih" ucapnya lalu menghampiri seseorang yang sedang berdiri di situ.

Devisa menghentakan kakinya kesal, bukan sekali ia dia abaikan seperti ini. Fix!! dia tidak punya perasaan pada Devisa.

Dengan perasaan dongkol, Devisa menarik tangan cowok itu dengan kasar, habis sudah kesabaran Devisa, bersikap manis pun tidak dianggap. Devisa memilih menunjukan sikap bar-barnya.

"Ini ruang kepala sekolah, lain kali kalau di tanya ya jawab. dan kalau udah jalan sama gue nggak boleh ke yang lain." cerocosnya berapi-api.

"Makasih." ucapnya, kemudian masuk ke ruang kepala sekolah tanpa menatap Devisa.

Devisa menganga, hanya itu yang dia ucapkan ? Devisa mengumpat kesal, Tanganya terkepal kuat. Ia ingin memukul sesuatu yang ada di sampingnya.

Beruntung, bel masuk berbunyi dan sedikit mengurangi kemarahan Devisa. Begitu santai ia melangkah menyusuri koridor, ia tidak peduli dengan baris berbaris sebelum masuk ke kelas.

Ferel selaku ketua kelas menggeleng kepala melihat Devisa dari jauh, di tegur pun akan berujung dengan debat capres yang tidak akan kelar.

Devisa menangkap sahabatnya sedang baris, urutan ketiga. Ia bosan dengan suasana tertib dan monoton seperti ini.

"Arzera conge" teriak Devisa mengundang perhatian seantero sekolah.

Banyak yang menatap takjub Devisa, setiap hari pasti ada saja ulahnya. Mereka merinding melihat seorang guru melangkah cepat ke arah Devisa dengan tangan yang memegang kabel panjang.

Bukannya takut, Devisa nyengir kuda mendapati Pak Herman yang menghampirinya. "Selamat pagi pak, aku tidak herman lagi --- up maksud aku heran pak!!".

Siswa yang mendengar itu tergelak. Hawa dingin hilang sudah, Devisa memberi kehangatan di setiap canda yang ia buat.

"Setelah bel istirahat, ikut saya ke kantor." ucapnya penuh penekanan menahan amarah.

"Nggak sekarang aja pak. malas banget ikut jam Biologi." ujarnya malas malasan.

"Devisa" tegur pak Herman.

"Siap pak." ucapnya dengan gaya hormat.

Devisa berlari masuk ke kelas, ia puas mengerjai guru BK yang tak lain adalah pak Herman.

Devisa melakukan itu untuk bersenang-senang, bukan berarti nilai jelek. Devisa selalu menjadi juara kelas dan beberapa kali menang olimpiade sains tingkat nasional.

Milik DevisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang