Ruang BK

94 27 63
                                    

Just walking in your way and I know all about you

Sinar mentari seakan mengikuti langkah kaki Devisa. Devisa melangkah mencari angkot atau ojek, namun tidak kendaraan yang lewat.

Waktu terus melaju, hampir jam 8 pagi, namun matanya dan kakinya terus bekerjasama untuk menemukan angkot.

Ia berbalik ke belakang menatap kesal mobilnya yang tiba-tiba macet, tangannya masih menggenggam kunci mobil.

"Kalau mau macet bilang kek, udah setengah jalan juga. Isssh!!" gerutunya setengah berlari.

seketika bola lampu menyala di kepalanya. Devisa merogoh ponsel di saku roknya lalu menelfon seseorang.

"Gue, nggak mau tahu jemput gue sekarang. nggak ada pake alasan atau spion motor lu gue pecahin!!" Devisa berbicara dengan cepat setelah itu ia mematikan ponselnya.

Ia berdiri melawan terik yang kian menyengat. Sebuah motor sport berhenti di depannya, wajahnya menahan amarah.

"Lo liat sekolah noh, lima puluh langkah udah sampe kutu!!" ucapnya menunjuk sebuah bangun panjang kali lebar berdiri megah.

"Oh iya yak, kenapa gue nggak jalan kaki aja." ucap Devisa menyegir kuda.

Devisa kembali melangkah dan bernanyi menghilangkan rasa lelahnya. Ia kini berdiri di pagar sekolah.

Pak Aziz berdiri di depan pagar, ia merasa deja vu melihat Devisa. "Non Visa terlambat ya?" ucapnya

"Bukan terlambat pak, tapi telat." canda Devisa, setelah itu pak Aziz melangkah masuk ke pos mengambil kunci dan membuka pagar.

"Makasih Pak Aziz" Devisa belari masuk menubruk tubuh pak Aziz.

Belum juga sampai di koridor sekolah, rompi kuning sudah menyapa dirinya. Devisa mengumpat kasar dalam hati, ia menghampiri seseorang yang memegang rompi kuning itu.

"Sialan banget ya lo, nggak jemput gue dan lo main kasih rompi anti banjir ke gue ? kakak laknat!!" semprot Devisa pada Devon.

"Kan lo sendiri yang mau jalan kaki." Devon menahan senyum, ternyata mengerjai Devisa ada untungnya yaitu menambah lengkungan bibir di pagi hari.

Devisa memakai rompi itu dengan kasar dan meninggalkan Devon. Devisa berhenti melangkah, ia harus membalas perbuatan Devon. "Siap-saip besok video lo yang megang daun sabun sirih dan rambut lo yang penuh busa, gue sebarin ke satu sekolah." setelah mengatakan itu Devisa menjauh dari Devon.

Devon terpekik histeris, reputasinya sebagai ketua keamaan akan hancur jika video itu Devisa sebarkan. Ia menepuk jidat kasar, bahkan dirinya harus rela jika sebentar nanti kantongnya terkuras.

Ia berlari mengikuti Devisa, tetapi ia kalah telak. Devon melihat pak Herman sedang memberi nasehat pada Devisa. Perasaan cemas semakin menggoroti pikirannya, Devon akan membujuk Devisa setelah bel istirahat nanti.

🍃🍃🍃🍃🍃

Dhem...

Devisa memutar bola matanya jengah, baru saja bertemu dengan pocong, sekarang harus berhadapan dengan guru sok galak padahal enggak.

"Jam berapa sekarang Devisa?" tanya pak Herman.

"Jam nonton sambil tiduran pak!!" jawab Devisa enteng.

Pak Herman menghela napas pelan, jika bukan Devisa yang telah mengharumkan nama sekolah, sudah habis ia di skors.

"Kapan kamu berubah?" tanya pak Herman menatap datar Devisa.

Devisa tidak membalas pertanyaan pak Herman, ia justru tersenyum hangat kala Milik berjalan berlawanan arah dengan dirinya. Ia memegang setumpuk buku.

"Bapak mau saya berubah?" tanya Devisa kembali.

Pak Herman tersenyum lalu berkata. " Bukan cuman saya, semua guru pun mau." Devisa menunjuk ke arah belakang, alis pak Herman menyatu. Secapat alisnya menyatu, secepat itu juga pak Herman berbalik.

Ia bingung dengan maksud Devisa. "Saya mau dia jadi pacar say---"

"Hei kamu, anak baru sini!!" teriak pak Herman pada Milik yang hampir masuk ke kelas.

Milik celingak-celinguk, ia mengira pak Herman memanggil siswa lain. Dirasa dirinya sendiri, Milik lalu menunjuk dirinya.

"Kamu benaran suka siswa itu ?" tanya pak Herman ragu.

"Iyalah pak, mana saya bohong pak!!" sungut Devisa menggaruk hidungnya yang tidak gatal.

"Kamu dan kamu, Devisa masuk ke ruangan saya sekarang." bentak pak Herman membuat Devisa dan Milik terlonjak kaget.

Pak Herman masuk dan duduk ke dalam ruangan minimalis itu, Devisa dan Milik mengekori dari belakang.

Mereka duduk berhadapan dengan pak Herman. Devisa masih berpikir apa yang akan di lakukan oleh pak Herman.

"Kamu, atribut sekolah nggak kamu pakai? mau jadi apa kamu ?" Milik menatap bingung pak Herman. Apa salahnya ? atribut yang ia pakai lengkap, kecuali dasi.

"Maafkan saya pak." ucap Milik tegas.

Kini pak Herman menatap Devisa selama beberapa menit. "Dan kamu Devisa, stop berulah bapak dan guru-guru lain capek dengan tingkah kamu." Devisa hanya meringis pelan.

Mereka terdiam sesaat lalu hal yang mengejutkan Milik terjadi, sementara Devisa bersorak senang.

"Sepertinya kalian berdua cocok"

pak Herman tersenyum hangat. "Milik berikan nomor kamu ke Devisa." lanjut pak Herman.

Devisa tersenyum begitu lebar, saking lebarnya pak Herman sampai bergidik ngeri melihatnya.

Cepat-cepat Devisa mengambil ponsel membuka lock-screen, jarinya dengan cepat mengotak-atik ponsel bermerek apel digigit itu.

"Kenapa harus nomor saya pak?" tanya Milik terlihat bingung.

"Ya biar, kalian bisa bekerja sama, baik kewajiban sekolah maupun hubungan kalian." sela pak Herman. Milik menatap penuh selidik pada Devisa.

"Sekalian nama sosmed lo?" bukannya menjawab Devisa nyegir dan menyodorkan ponselnya pada Milik.

Milik mendesah pasrah, ia tidak bodoh. pasti ada udang di balik bakwan, tidak mungkin seorang guru seperti ini. Milik hanya mengikuti alurnya saja.

Ia lalu mengambil ponsel Devisa dan menyimpan nomornya. "Pak, saya permisi mau kembali ke kelas." ucap Milik melangkah keluar dari ruang BK.

Devisa berlari mengikuti Milik, ia menarik kerah baju Milik hingga Milik rasanya ingin jatuh di lantai sekolah.

"Kamu sebagai cewek lemah lembut bisa tidak ?" sungut Milik menahan kesal, tanganya mengusap lehernya yang di terasa cekik.

Devisa terkekeh pelan" I'll do my best for you" Devisa mengedipkan matanya membuat Milik menahan napas sejenak. "Hp gue, nggak ada rencana buat priksa Hp gue kan!! kita belum jadian loh." goda Devisa menekan ujung hidung Milik, namun di tepis kasar oleh Milik.

Milik memberi ponsel pada Devisa lalu meninggalkan Devisa sendirian. Ia tidak mau berurusan dengan cewek bar-bar seperti Devisa.

Milik mengercepkan matanya melihat seseorang di depannya. "sampai kapan kamu mengganggu saya, kita harus ke kelas." Devisa ternyata berlari dan berdiri di depan Milik.

Milik memegang tangan Devisa lalu menariknya ke kelas, Devisa merasa ada sesuatu yang aneh memenuhi tubuhnya.

Devisa membalas genggaman itu semakin erat. Berharap semoga hari esok salah satu jari di genggaman ini bisa menjadi tempat cincin kawin berada.

Milik DevisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang