30. Joshua

122 23 1
                                    

Copyright © 2016 by Cindy Handoko

DARI awal memang aku tidak begitu peduli terhadap Iris.

Bukannya apa-apa, tapi adik kelas satu itu hanya nyentrik saja. Dia tidak seram kayak Pak Stenley atau judes kayak Kesha. Tidak ada yang terlalu mengancam dari dirinya-kecuali bahwa dia galaknya minta ampun.

Lalu, kenapa aku ogah banget menyelinap ke sekolah lagi malam ini?

Oh, itu sudah jelas. Coba kalian ingat-ingat dengan siapa aku melakukan hal itu terakhir kali, dan kujamin kalian bakal langsung tahu alasannya.

"Dasar nenek-nenek pedofil." Nah, maksudku oknum yang satu ini. "Celana gue sobek dikit gara-gara lo, tahu?"

Aku meliriknya jengkel.

Apa-apaan, tuh, 'nenek-nenek pedofil'?

Padahal, aku sudah merasa cukup terhina saat ia menjulukiku 'tukang pukul' tahun lalu. Sekarang rasanya aku lebih kepingin jadi tukang pukul beneran dan memukuli bocah itu sampai babak-belur.

"Daripada sobek banyak?" solotku emosi. "Sini, gue sobekin kalo mau!"

"IH!" Sam langsung menyilangkan tangan di depan dada sambil melompat mundur-yang secara ajaib mengingatkanku akan banci lampu merah, "Jadi orang ganteng emang susah, ya! Adaaa... aja, homo yang ngedeketin!"

"Enak aja!" pekikku tak terima, "Yang homo siapa, yang dituduh siapa!"

"Jawabannya 'elo' semua!" ia menyahut, "Kalo gue homo, berarti Catherine cowok!"

"Kalo Catherine cowok, berarti lo nggak homo, Oon!"

"Lah, kok bisa? Cowok sama cowok homo, lah!"

Aku sok-sok terkejut dengan membelalakkan mata, "Ya ampun!" pekikku, "Jadi, selama ini, lo kira lo itu cowok? Astaga, Sam! Lo harus kembali ke jalan yang benar!"

"Alay lo! Dasar nenek-nenek biarawati pedofil!" Sam berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Dan homo!"

Hah? Apaan lagi, tuh, 'nenek-nenek biarawati pedofil dan homo'?

"Heh, Sam-"

"Diem, nggak usah homo-homoan!" tak kuduga, Gwen-yang berjalan paling depan-menegur kami dengan tajam. Sam langsung melongo dengan tampang bego setengah mati, kemudian menoleh padaku dalam sekali sentak.

Ia berbisik, "Nek, terjemahin, Nek. Gue nggak ngerti bahasa monster."

"Gue denger itu, Sam!" Gwen menyela dari depan. Aku hanya menjulurkan lidah pada Sam sambil menyaksikan bocah itu bungkam dengan cepat, kemudian mulai ngomel-ngomel sendiri seperti biasa. Dalam hati, aku merasa perlu berterima kasih pada Gwen karena sudah membebaskanku dari neraka jahanam.

"Nah," Gwen memulai, setelah suasana hening yang hanya diisi dumelan-dumelan Sam. Begitu kusadari, kami semua sudah berada di ruang multimedia, saling berdesakan di dekat pintu masuk ruangan panjang yang sempit itu. "Kita sampe di ruangan tempat temen kita, Rey, sekarat dibunuh."

***

Suasana berubah cepat setelah itu.

Sebelum sempat kusadari, semua orang sudah menunduk atau mendadak naksir ventilasi di dinding ruangan. Rupanya, diingatkan mengenai kenyataan itu saat kami sedang berada di sini-di TKP asli kejadian mengerikan itu-benar-benar tidak semudah kedengarannya. Benak kami-atau setidaknya, benakku-langsung memutar kembali kejadian heboh pagi itu, saat aku hanya bisa berdiri dengan horor sambil menatap Gwen dan Rey yang berdarah-darah di hadapannya bergantian-bingung memutuskan yang mana di antara mereka yang lebih menyeramkan.

Mystery of the Orphanage: Terror of the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang