Obsession

1.7K 119 3
                                    

Hana merobek kertas itu. Entah sudah kertas keberapa yang ia robek. Obsesinya adalah menjadi seorang penulis. Namun apa daya, tangannya tidak berbakat untuk itu. Hana meletakan bolpoin itu ke meja lalu ia menunduk, menatap jari jemarinya dengan nanar. Matanya mulai memanas.

Isakan kecil keluar dari bibirnya tatkala ia merasakan kehampaan di hatinya. Hana memegang dadanya,tepat dimana organ tubuh yang mengontrol segala perasaannya itu berada.

"Sebuah karya yang indah berasal dari hati."
Kata kata motivator itu masih terngiang ditelinga hana. Hana tersenyum kecut "Bagaimana bisa aku menciptakan sebuah karya,sementara hatiku saja sudah mati?" Gumamnya.

Ting! Sebuah notifikasi masukan diponsel hana. Hana meraih ponsel itu. Rupanya itu adalah notifikasi dari aplikasi kepenulisan online. Hana menscroll layar ponselnya. Dan disatu titik ia menemukan sesuatu yang membuat senyumnya semakin kecut.

"Kim ara.. aku menunggu lanjutan ceritamu."
"Kau sunggu berbakat."
"Semangat kakak! Ditunggu kelanjutannya."
Hana membaca komentar komentar itu dengan hati yang iri.

Kim ara, hana mengenalnya. Dia adalah satu satunya teman baiknya. Hana begitu iri dengan kehidupan gadis itu. Menurutnya, ara adalah orang paling beruntung didunia.

Ara dan hana sama sama yatim piatu. Namun bedanya,ara masih memiliki seorang kakak yang amat sangat menyayanginya. Kakak ara juga bukanlah orang sembarangan. Ia merupakan pendiri perusahaan advertising terbesar dikota ini.

Kaya,cantik, ramah dan supel. Ara Merupakan definisi gadis sempurna. Namun,bukan itu yang membuat hana iri. Lagi.. obsesinya menjadi penulis membuat hana iri setengah mati dengan kepopuleran ara didunia orange itu.

Hana tentu saja mempublish beberapa cerita di aplikasi itu. Berharap jika ia akan mendapatkan respon positif dari para pembaca. Namun sayangnya berbagai macam kritikanlah yang ia dapatkan. "Dunia tidak adil." Gumam hana.

"Hana!" Panggil ara.
Hana menoleh dan tersenyum kearah ara yang mendekatinya.

"Hana kau pulang sendiri?" Tanya ara.

Hana mengangguk, "seperti biasa." Ucapnya disertai senyum.

"Ayo kerumahku. Aku kesepian dirumah." Ajak ara.
"Tapi.."

"Tidak usah tapi tapian." Ara menyeret hana pergi.

Mereka sampai dirumah ara. Hana begitu kagum dengan besarnya rumah ara.
"Kau tinggal dirumah sebesar ini hanya dengan kakakmu?" Tanya hana.
Ara mengangguk "kalau siang ada beberapa pelayan disini." Ucapnya.
Hana hanya mengangguk angguk.

Mereka masuk kedalam rumah itu. Mulut hana tidak berhenti berdecak melihat kemewahan didalamnya. Beberapa guci antik tertata rapi dirumah itu. Tak hanya itu, semua interior didalam rumah itu terlihat begitu berkelas. Hana jadi minder sendiri.

Pandangan hana tertuju pada sebuah foto keluarga yang terpasang disana. Tampak sepasang suami istri yang bisa hana tebak adalah orang tua ara,seorang anak perempuan yang sudah hana pastikan itu pasti adalah ara. Namun bukan itu yang membuat hana tertarik,namun potret seorang anak laki laki disamping aralah yang menariknya.
Tatapan Anak laki laki itu sangatlah dingin saat dikamera. Ia seperti menyimpan suatu rahasia.

"Hana.." panggilan ara membuyarkan lamunan hana.

Entah sudah berapa lama hana dan ara mengobrol didalam kamar ara. Sesekali mereka tertawa. Hana heran, ia dan ara adalah 2 orang yang sangat berbeda. Namun ara tetap mau berteman dengannya.

Tak lama pintu kamar itu terbuka, menampakan seorang pria dengan kemeja putihnya. Dasinya masih menggantung dilehernya namun sudah dalam keadaan dilonggarkan. Lengan kemejanya digulung sebatas siku menampakan otot otot tangan maskulin yang menggoda. Tatapan mata pria itu sangat dingin membuat hana ingin menenggelamkan diri saja.

Bibir tipis pria itu terkatup datar. Hana menyadari sesuatu, kakak ara memiliki aura yang sangat kelam namun disatu sisi ia juga tampak mempesona.

"Kakak!" Ara menghambur memeluk pria itu. Ara mengusel uselkan hidungnya didada pria itu seperti kebiasaanya selama ini.

Pria itu seketika merubah ekspresinya, dari datar menjadi penuh cinta. Sesekali ia mengelus surai ara.

Sementara itu, hana masih mematung ditempat. Hana yakin dengan perasaannya. Pria itu misterius.
Pria itu mencium pucuk kepala ara, beralih kedahi, kedua pipi ara lalu hidung dan terakhir pria itu membuat gerakan hendak mencium bibir ara.

Entah mengapa hana sedikit tidak nyaman saat pria itu ingin mencium bibir ara. Reflek, ponsel yang hana pegang jatuh kelantai menimbulkan suara yang membuat kedua "adik-kakak" itu menoleh.

Destiny [Nakamoto Yuta] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang