Teman

38 6 0
                                    

Nada berlari cepat menuju halte yang berada lumayan jauh dari rumah. Sial! Setelah dua hari absen akibat trauma atas kejadian malam itu, dia harus terlambat bangun dan tertinggal bus ke-dua yang biasa ia tumpangi. Sesekali dia memeriksa jam pada gawai ber-case merah muda. Tiga puluh menit tersisa sebelum gerbang sekolah ditutup. Dia harus menambah kecepatan agar tidak tertinggal bus ke-tiga.

Dari kejauhan, beberapa orang terlihat berdiri di dalam halte, ada juga yang memilih berada di tepian trotoar. Memastikan kedatangan angkutan umum tersebut. Sebagian mengenakan pakaian rapi bak pekerja kantoran sambil menenteng tas laptop, juga ransel yang berisi entah. Sebagian lain merupakan anak sekolah menengah.

Seperti pagi biasanya, ketika kendaraan raksasa berwarna biru itu datang, sebagian besar orang langsung menyerbu naik, saling mendahului. Sampai-sampai Nada harus rela menjadi yang terakhir.

Kondisi bus saat itu sudah penuh. Tidak padat, tetapi semua kursi telah terisi. Terpaksa dia dan beberapa penumpang lain harus berdiri. Tidak apa, ini lebih baik dari pada harus menunggu setengah jam lagi untuk kedatangan bus berikutnya - yang bisa jadi kondisinya sama saja. Penuh. Gadis berambut diikat satu tersebut mengambil posisi di tengah, dekat pintu kaca.

Di tengah perjalanan, matanya tertarik pada pria yang duduk tepat di sampingnya sembari membaca sebuah buku tebal dengan earphone menyumpal kedua telinga. Jika diamati dari seragam dan atribut yang dia kenakan, sepertinya mereka satu sekolah. SMA Taruna Mandiri. Mungkin kakak kelas, atau malah satu angkatan.

Altar Sarfaraz L. Baca Nada dalam hati tat kala melihat nametag yang terpasang di almamater pria tersebut.

"Apa yang kau lihat?" tanya Altar tiba-tiba, menyadari perbuatan Nada.

Sontak gadis tersebut tercekat dan langsung salah tingkah."A-aku t-tidak melihat apapun!" Air mukanya berubah pucat. Buru-buru dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Sekilas, Altar memperhatikan Nada dari atas hingga bawah. Rambut diikat satu berponi, seragam rapi dibalut almamater abu-abu tua yang terlihat pas, ransel menggelayuti bahu, rok selutut, kaos kaki putih sebetis, ditambah pantofel hitam berkilau. Dahinya berkerut, sampai membuat kedua alisnya nyaris bertautan. Jika diperhatikan, mereka satu sekolah, tapi mengapa wajahnya tampak asing?

Tanpa sengaja matanya menangkap seorang pria bertubuh gempal yang duduk di kursi seberang, memandang ganas ke arah bokong Nada. Tidak ubahnya seperti seekor rubah yang hendak memangsa anak ayam.

Altar berdecak sebal. Ini masih terlalu pagi untuk mendapatkan sarapan pemandangan yang menjijikkan. Sekonyong-konyong dia berdiri, membuat Nada tersentak.

"K-kenapa?"

"Duduk!"

"Eh?"

Altar menggerakkan dagu, memberi isyarat agar gadis tersebut menoleh ke belakang.

Betapa terkejutnya Nada saat tahu ada seorang pria tengah begitu asyik memandangi tubuhnya. Wajahnya memerah. Antara marah dan malu secara bersamaan. Ia merasa seperti ditelanjangi saat itu juga.

Lekas dia bertukar posisi dengan Altar. Walau agak sulit dan hampir terjatuh karena bus melaju kencang, tetapi dia cukup beruntung karena pria berparas tampan tersebut memegangi pergelangan tangannya.

Lantas sebisa mungkin, Altar berdiri menutupi tubuh Nada dari pandangan ganas si pria mesum. Tentu saja itu membuat pria berkumis tipis tersebut kesal dan kembali memalingkan muka ke arah lain.

Tidak lama, pria paruh baya berkemeja putih dengan celana biru dongker khas kondektur bus, berjalan menyusuri badan bus, menarik ongkos para penumpang.  Memang begitu, terkadang kondektur menarik ongkos lebih dulu, sehingga ketika sampai, penumpang bisa langsung turun. Ada pula yang harus memberikan langsung kepada sopir secara langsung karena tidak ada kondektur.

Never GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang