Terlambat

18 2 3
                                    

Attala baru saja sampai di sekolah saat gerbang telah ditutup tiga puluh menit lalu, karena saat berangkat tadi dia tidak langsung ke sekolah. Membuatnya terjebak di luar gerbang karena tidak diizinkan masuk sebelum bagian komite kedisiplinan datang.

Tidak hanya sendiri, tetapi berdua dengan Giska. Tepat ketika dia baru menepikan motor, Giska yang diantar oleh ojek online langsung menyerbu gerbang sesaat setelah membayar ongkos tumpangan. Memohon-mohon pada satpam agar bisa masuk. Salah satu kegiatan paling tidak berguna, karena petugas keamanan tersebut tidak mengindahkan permintaannya.

Berbeda dengan Giska yang merasa panik dan khawatir mendapatkan hukuman karena datang terlambat, Attala malah bersikap tenang dan malah terkesan santai. Baginya, keterlambatan adalah hal yang sudah biasa. Paling hanya akan membuahkan hukuman lari atau membersihkan lapangan.

"Apa kau tidak bisa diam?" ujar Attala sarkastik, merasa terganggu karena terus mondar-mandir gelisah.

Sontak gadis berbando merah muda itu langsung bergeming.

"Maaf," cicitnya, lantas berjongkok, menyandarkan diri ke pagar. Hatinya tidak henti merapalkan do'a, berharap Dewi Fortuna menyertainya hari ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sepanjang menginjakkan kaki di bangku SMA, Giska sama sekali tidak pernah terlambat ataupun melakukan kesalahan yang bisa membuatnya terkena masalah. Maka wajar jika dia sangat panik. Terlebih, Komite kedisiplinan siswa terkenal garang. Terlambat beberapa menit saja bisa dijemur berjam-jam, bahkan harus berlari mengelilingi lapangan beberapa putaran atu membersihkan toilet. Bisa dibayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima karena terlambat tiga puluh menit lebih.

Tiba-tiba, otaknya bekerja. Cepat-cepat dia berdiri, menghampiri  satpam.

"Pak, sini deh!"

"Ada apa, Neng?"

"Bapak tahu tidak? Giska pernah denger dari guru agama, katanya barang siapa yang mempermudah urusan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah pula urusannya. Bapak tahu?" Giska bertanya intens. Senyumannya merekah saat sang satpam mengangguk. "Nah, kalau gitu gimana kalau Bapak izinin Giska masuk. Siapa tahu kan, nanti Bapak diperlancar rezekinya. Tahu-tahu diangkat jadi kepala Satpam, kan keren. Gimana?"

"Maaf, Neng. Aturan tidak bisa dilanggar."

"Tapi berbuat baik dengan menolong sesama itu enggak dosa, lho, Pak. Malahan bagus. Nanti Bapak dapat pahala."

Attala berdecih jijik menyaksikan upaya teman satu kelasnya merayu security.

"Ekhem!"

Baik Attala maupun Giska, keduanya langsung menoleh ketika mendengar suara mendeham. Pria berperut buncit dan kumis baplang yang tumbuh dengan subur nyaris menutup lubang hidung, berkacak pinggang. Menatap mereka sangar.

•••

Beginilah nasib dua murid kelas sebelas bahasa tersebut berakhir. Bukan berdiri dengan satu kaki atau hormat pada bendera merah-putih selama satu mata pelajaran, lebih parah dari itu, mereka malah ditugaskan untuk membersihkan gudang belakang. Meski barang-barang tertata rapi, namun kondisi ruangan cukup sumpek dan berdebu. Hanya perlu meletakkan benda yang berserak dan menyapunya.

Alih-alih membantu, Attala malah duduk di atas meja, santai. Sama sekali tidak peduli pada Giska yang berkali-kali bersin, membersihkan ruangan sendiri.

"Attala, apa kau tidak akan membantuku?"

"Tidak!"

"Kau 'kan juga dihukum. Harusnya kita kerjasama supaya cepat selesai!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Never GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang