Prolog

32 3 0
                                    

Sudah sekitar lima jam sejak matahari terbenam, yang berarti waktu ini menjelang tengah malam. Entah ia kelamaan tidur siang, atau karena beban fikiran yang tidak tahu asalnya, kenyataannya pada saat jam mulai beranjak keangka dua belas, matanya tak bisa terkatup. Tak betah berlama-lama merem sementara tubuhnya tidak menginginkan tidur. Ia pun bangun, berjalan menuju meja belajar lalu duduk di kursinya.

Lembar kerja matematika itu membisu. Sama sekali tidak peka bahwa pemiliknya sedang membutuhkan petunjuk atau apalah agar lembar kerja itu bisa segera selesai. Gadis itu hanya menatap sedih si lembar kerja, berharap keajaiban terjadi.

"Sin, Cos, Tan... Kenapa kalian harus ada disini. Padahal mengukur sudut harusnya bisa pakai busur, kenapa kalian ikut campur siihhh!!!" Femiko menggerang, hampir menangis. Tidak tahu harus menuntut soal matematika itu kemana.

"Dengar ya, aku itu gak bisa tidur gara-gara kamu. Padahal aku berusaha dekatin kamu, tapi kenapa kamu menghindar terus...." Ia merengek, berharap si lembar kerja mendengar keluh kesahnya. "Tolonglah... Besok kalau aku minta tolong Sahila, kamu harus selesai dan aku harus mudeng. Titik."

Dengan kesal, femiko menutup dengan kasar lembar kerja yang sudah ia keluh kesahi, setengah menggebrak meja. Berusaha tidak menyobek-nyobeknya seperti buku tulis yang biasa ia gunakan untuk menghitung, menyelesaikan soal matematika. Sayang sekali, buku itu selalu tidak karu-karuan kalau sedang ada soal matematika yang sulit. Dan lembar kerja malam itu, selamat.

Setelah ia mematikan lampu belajarnya, Femiko meloncat kembali ke ranjang, menyergap selimut, bersembunyi dibawahnya, sambil berusaha keras melupakan soal sin cos tan yang terus menghantuinya.

***

"Kenapa?"

Sekonyong-konyong ibu Halimah mengagetkan putrinya yang sedang melamun diantas sepiring nasi goreng. Femiko terkejut, lalu memandang ibunya dengan kesal.

"Gak bisa ngerjain matematika lagi ya?" Seloroh ibu Halimah, sudah hafal dengan lika liku ekspresi wajah putrinya.

Seorang anak laki-laki di seberang meja terkikik geli. Kuning telur yang baru saja ia santap masih menempel di giginya. Ibu Halimah menepuk pundak anak itu, sedang mencoba mencegah segala kemungkinan pertengkaran diantara mereka berdua. Femiko dan Mirza. Putra putri ibu Halimah.

"Eh dek!" Panggil femiko, menyenggol piring Mirza. Sedangkan Mirza sedang berusaha menenangkan diri dari kecemasan karena menyangka bahwa femiko akan menyerangnya seperti biasa. Seperti lembar kerja matematika milik femiko semalam, kali ini, mirza selamat.

"Wut?" Sahut Mirza, dingin.

"Kamu belajar matematika SMA gih, biar pinter, biar bisa bantuin kakak. Yaa..yaa??" Ingin tertawa tapi takut dosa, batin Mirza. Memangnya sebodoh apasih femiko dalam matematika?

Setelah meneguk air, mirza menjawab :
"Ogah."

Mirza beranjak dari duduk. Sedangkan femiko terus saja seperti itu ketika pagi hari sebelum ke sekolah. Merajuk karena soal matematika. Walaupun tidak setiap hari femiko bertemu matematika, namun ia tak bisa menghindarinya. Selama ini dia berusaha menyukai angka-angka itu. Namun, yang ia lihat angka-angka itu tidak balik menyukainya.

Saat ia duduk di kelas, ia langsung memberondongi sahila dengan materi sin cos tan. Tapi setengah dari kata-kata femiko adalah gerutuan hariannya soal matematika. Dan sahila sudah kebal.

"Begini ya sayangku..." Kata Sahila. "Kamu itu butuh tutor pribadi gitu.. Biar pinter matematika..."

"Nope"

"Iya.. Percaya deh. Aku tahu kamu tuh aslinya pinter. Hanya saja, Pinter itu belum bangun dari tidurnya.."

"Nonsense.."

"Oseng oseng terserah dah. Ngomong kok nggak jelas!" Sahila menggerutu, sambil membereskan buku matematikanya yang usai disalin Femiko.

"Coba kenalan sama Fatta tuh. Dia paling jago matematika di sekolah. Barangkali dia mau jadi tutormu." Lanjut sahila, lalu mengedikkan bahu.

Femiko lantas menoleh ke arah Sahila. Dahinya berkerut, menatap sahila dengan penasaran, "Siapa?"

English MathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang