Mobil putih itu berhenti. Dari dalam keluar Venicia, Rio dan ibu mereka. Rio berlari menarik tangan Venicia, yang mau tak mau ikut berlari bersamanya karena tarikan adiknya itu.
Di mulut pintu, berdiri dua orang guru seperti penyambut tamu dalam perhelatan ini. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah ramah, Bapak Dinata Harris, sang kepala sekolah SD Prima dan seorang wanita muda berambut pendek sebahu, yakni Ibu Yohana Hafsa. Seperti ibuku, mereka berdua tersenyum tatkala kami melewati mulut pintu aula. Pak Haria sesekali melirik ke arah dalam aula dan seolah menghitung jumlah tamu yang hadir.
Di dalam, semua kursi biru plastik itu sudah banyak yang terisi para murid dan orang tua. Hanya tersisa sedikit kursi yang masih kosong. Malam pentas seni ini akan meriah.
Rio begitu antusias dengan acara ini. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan topi dan kaus yang disandingkan celana jeans, yang menampakkan kesan gahar pada penampilannya. "Arrgghh", ia mencoba berimprovisasi dengan jari khas anak metal. Walaupun tiap tahun Rio tampil, namun ia tetap antusias. Kini hanya ada Rio dan kakaknya disini. Ibunya pergi membeli snack untuk dinikmati selama acara berlangsung.
"Hey, Rio", seorang anak kecil menyapa.
"Hey, Juan"
"Lo udah siap tampil kan?"
"Tentu dong"
"Itu kakak lo ya?", Juan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Venicia.
"Iya"
"Hai kak", ia melambaikan tangannya.
"Hai", Venicia menyambutnya dengan senyum.
"Kakak gue ini pandai loh main piano"
"Wiihh kayak Rico, si pemain piano kita dong"
"Jangan salah, skillnya lebih dari Rico"
"Waahh", pandangannya selama beberapa detik terpaku ke arah Venicia. Ketika ia begitu selama beberapa detik, tiba-tiba sebuah telapak tangan mengelus kepalanya.
"Hai bang", ternyata Tristan adalah kakak dari anak itu.
"Kemana aja sih, acaranya mau mulai nih. Jangan jauh-jauh", mendengar suara yang dikenal itu, Venicia berbalik arah. Pandangannya yang sedari tadi membelakangi dua sekawan itu sekarang melihat kawan sekelasnya. Beberapa saat, mereka saling berpandangan dan menyiratkan perasaan terkejut sekaligus heran pada masing-masing wajah mereka.
"Lo ada disini?", Tristan bertanya.
"Iya, nemenin adek gue. Lo ngapain disini?"
"Sama kayak lo, gue nemenin adek gue Juan"
"Ehh bang, kakak ini pandai main piano loh! Adeknya juga pandai main drum", Juan menarik-narik lengan baju Tristan.
"Iya abang tau, dia kawan sekelas abang"
"Oooo", ia mengarahkan pandangannya ke arah Rio, "ternyata abang gue sama kakak lo sekelas".
"Iya ces, sama kayak kita"
"Kepada para siswa yang mengisi acara, diharapkan untuk berkumpul dibelakang panggung. Sekali lagi diberitahukan, para siswa yang mengisi acara untuk segera ke belakang panggung", suara seorang wanita terdengar dari sebuah pengeras suara yang berasal dari atas panggung.
"Kalian udah dipanggil tuh, pergi gih. Jangan lupa ajak teman lu tuh", Tristan kembali mengelus rambut adiknya.
"Oke bang. Ayo Rio", mereka pergi dengan menyandang tas masing-masing.
Setelah Rio dan Juan agak jauh, kini mereka berhadapan lagi. Mereka agak canggung.
"Ehh lo..?", mereka kompak mengatakannya. Mereka terbengong singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Variabel Cinta
Teen FictionCintaku padanya seperti sin 90° Dan cintanya padaku seperti cos 90° Ya, kau benar... Cintaku padanya satu... hanya untuk dia Namun... Cintanya padaku nol tak berbekas sama sekali -Venicia Kau tahu bagaimana rasanya dilupakan? Menyakitkan bukan? Cer...