Bagian 3: Ketua kita

9 3 0
                                    

Kini matanya perlahan menutup. Badannya terbaring di kasurnya. Badan mungilnya terbalut selimut berwarna merah jambu, dengan corak bunga. Kini, ia telah tertidur lelap. Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam.

***
Mentari mulai memperlihatkan wujudnya. Jalanan mulai ramai. Desingan suara mesin kendaraan dan bunyi klakson yang bersahutan mengisi hiruk pikuk hari ini. Semua kendaraan merayap dengan lambat didalam kemacetan ini. Jalanan ini merupakan jalan lintas Sumatera. Mobil dan truk besar mengisi jalanan ini. Ia menyaksikan beberapa orang berjalan di trotoar tanah dengan mengenakan seragam. Mereka itu adalah siswa sekolah negeri di kota ini. Mereka telah terbiasa dengan truk besar itu, walau jalanan ini tak punya cukup rambu yang memberitahukan bahwa jalanan ini sesekali dipenuhi oleh anak sekolahan, pada waktu berangkat dan pulang sekolah. Sejak Cia dilahirkan di kota ini, belum pernah ia mendengar kecelakaan didaerah ini, selain dari pengendara ugal-ugalan yang menabrak kendaraan kendaraan lain.

Cia berada diatas sebuah motor. Ia diboncengi oleh ayahnya ke sekolah. Tangannya melingkar di pinggang sang ayah dengan hangatnya. Udara dingin pagi ini dihalaunya dengan balutan jaket merah jambu kesukaannya. Kepalanya disandarkannya di pundak sang ayah, dengan penuh kasih. Ayahnya kala itu menggunakan seragam biru khas karyawan perusahaan minyak terbesar dikota ini yang mungkin juga didunia, Chevron. Walau terdapat sedikit noda, namun perasaan dekatnya dengan ayahnya mengacuhkan hal itu. Matanya masih mengandung kantuk yang hampir memejamkannya dengan dukungan hawa dingin yang menggodanya untuk kembali terlelap di pagi ini. Namun, kehangatan yang didapatnya dari pundak ayahnya cukup untuk melawan kantuknya.

Mereka memasuki Jalan Gajah Mada. Walau kota ini kaya akan minyak, namun masih banyak infrastruktur yang rusak. Jalan ini dipenuhi lubang. Mereka akan terjebak macet apabila mereka berangkat tidak lebih awal dari pagi ini. Masih terbayang di benak Cia, begitu ruwetnya jalanan ini dikala pasar "Pagi" mulai ramai dengan pembeli yang berlalu-lalang, menyeberang masuk ke dalam pasar. Terdengar deru suara mesin kendaraan dan klakson yang bersahutan, mencerminkan para pengendara yang tidak sabar untuk segera menjauh dari kemacetan, si penyebab ia terlambat kemarin.

Kini, jalanan cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan saja disini. Sesekali, lubang di jalanan itu tak dapat dihindari. Tubuh mereka berguncang. Tas biru Cia ikut meramaikan suasana pagi itu dengan bunyi yang dikeluarkan alat tulis yang saling berhantaman didalam kotak pensilnya. Mereka tetap tenang. Mereka terbiasa dengan jalanan ini.

Kini, mereka telah sampai di gerbang sekolah. Di sekolah ini, mulai dari jenjang TK hingga SMA disatukan dengan nama Yayasan Prima High School.

Jari jemari kecil Venicia mendekap jari jemari ayahnya sembari menuntun tangan itu ke keningnya. Ia mengucapkan sebuah salam hangat yang meminta restu didalam setiap katanya.
"Cia berangkat ya, Pa"
"Belajar yang baik ya, jangan lupa, nanti pulang papa yang jemput"
"Oke, Pa", seru Venicia dengan ceria.

Ia kemudian melangkahkan kaki mungilnya. Lingkungan yang telah dikenalnya selama hampir satu dekade ini. Ia berjalan dengan mood yang bagus sambil tersenyum menikmati udara sejuk pagi.

Di belakang Cia, tampak siswa laki-laki mengejarnya. Matanya hanya terfokus pada gadis didepannya. Ia berlari dengan harapan segera menyapa gadis itu.
"Hey, selamat pagi!", nadanya membuat Cia terkejut.
"Astaga, aduh baru pagi udah bikin terkejut aja anak ini"
"Hehe, maaf. Nama kamu Venicia bukan?"
"Iya, ada perlu apa?"
"Namaku Tristan Matthew, salam kenal ya, panggil aja Tristan"
"Yaa", raut muka kurang senang tampak di wajahnya.
"Ihh, kok cuek sihh? Kemarin nyenggol-nyenggol mau kenalan, sekarang kok jaim, hahaha", Tristan tertawa.
"Apaan sih, jelas gue gak sengaja kemarin"
"Iya deh, aku becanda kok, soalnya kamu imut, hehe"
"Iya-iya"

Mereka berjalan berdua hingga sampai di pintu kelas. Mereka segera berpisah ke kursi masing-masing. Tampak di dalam kelas hanya beberapa orang saja yang telah datang dan menempati kursinya masing-masing. Cia menaruh tasnya di kursi, lalu duduk menanti temannya dan bersiap untuk belajar.

Tak sampai 10 menit, ketiga sahabat karibnya datang.
"Hey, udah lama ya?", tanya Rachel.
"Gak kok, aku juga baru nyampe"

Dari jauh, Tristan menoleh ke arah mereka. Otot kakinya memaksa tubuhnya untuk berjalan mendekati mereka. Lalu, dengan percaya diri ia menghamburkan senyumnya. Melihat seorang laki-laki ganteng mendekati mereka, bola mata Alrica seolah berkaca melihat makhluk indah di depan matanya.
"Hai ganteng", dengan genit Alrica menyapa Tristan.
"Hmm, hai", Tristan membalasnya dengan sedikit tanda tanya dibenaknya.
"Boleh kenalan, gak?"
Mereka berbincang dengan akrab.
"Boleh, biar aku tebak, pasti nama kamu Alrica, bukan?"
"Ihh kok tau, stalker aku ya"
"Haha, saya sebagai ketua harus bisa mengenal semua anggotanya"
"Iya deh pak ketua"

Venicia menatap sinis. "Bagaimana bisa orang yang baru kenal bisa se-akrab itu?", gumamnya.
"Ahh mungkin anak itu zodiaknya gemini, dia bisa beradaptasi sama siapa aja"
Venicia dan temannya mungkin sedikit tahu mengenai pembahasan yang berbau zodiak. Pengetahuan mereka tentang zodiak ditularkan dari Alrica. Hampir setiap hari--melalui ponsel pintarnya, Alrica selalu menyodorkan ramalan zodiak yang dengan mudahnya didapat dari ponselnya.

"Kayaknya.. anak itu asik deh!", gumam Venicia. Ia memulai kembali pembicaraan.
"Hey pak ketua, Roster hari ini apa aja?", kini tak ada lagi kernyit di dahinya. Ia sudah lupa dengan kejadian kemarin yang hampir menjadikan mereka musuh.
"Ehh, untung lo ngingetin, oke bentar ya, gue cek dulu", Tristan keluar kelas dengan langkah cepatnya. Mungkin kaki dia telah terbiasa berjalan gagah seperti itu, kaki si pemain sepakbola sekolah.

Tak berselang lama, ia kembali dengan selembar kertas di tangan kanannya.
"Gue, udah punya rosternya"
"Bagi sini", celetuk Cia sambil merebut kertas yang ada di tangan Tristan.
"Ehh enak aja, pijit dulu dong"
"Males"
"Oke, karena lo sekretaris, sekalian tulis dipapan tulis rosternya"
"Iya, selesai ini", balas Venicia.
Tristan pergi meninggalkan mereka.

"Ciee, ada yang akrab. Padahal kemarin marahan", sindir Rachel.
"Ahh yaudah, nanti kami marahan lagi."
"Ehh jangan dong, dia itu ganteng tau! Dia pemain bola yang paling terkenal di sekolah kita", celetuk Alrica.
"Hadehh, Rica", balas Venicia.

***

Bel tanda pulang telah berbunyi. Para murid berhamburan dari kelas. Raut wajah gembira tampak di wajah mereka.

"Hey jadi gak hari ini kerja kelompoknya? ", tanya Tristan sambil menepuk pelan pundak Venicia.
"Sabtu aja deh, mageran hehe. Lagian tugasnya kan dikumpul seminggu lagi. Santuy aja kali"
"Yaudah deh, terserah lo. Yaudah jangan lupa ingatin kawan yang lain ya"
"Oke", Venicia berlalu meninggalkan Tristan dibawah terik matahari siang ini. Kulit kuning langsatnya berurai keringat, yang tembus melalui pakaian putih abu-abunya pada bagian lehernya.

Venicia melihat ke arah jalan. Sebuah angkot biru mendekat. Venicia segera mengayunkan tangannya.
"Kampung Dalam, dek?"
"Iya bang", sahutnya sambil menggerakkan tubuhnya untuk masuk ke dalam angkot itu.

Kampung Dalam--kediaman Venicia-- berada di Kecamatan Pinggir. Walaupun baru beberapa dekade di mekarkan, kecamatan ini sudah banyak mengalami kemajuan, terutama di tata kotanya.

Angkot ini sedikit berguncang di kala menabrak lubang-lubang jalan. Rambut indah sebahu Venicia tergerai. Ia seolah tak peduli dengan keadaan itu, matanya tertuju pada sebuah buku hasil diskusi pelajaran mereka tadi.

"...Pada tahun 1965 , terjadi sebuah pemberontakan oleh PKI, yang pada saat ini kita kenal sebagai pemberontakan G-30S/PKI.
Ada berbagai teori yang mengatakan bahwa dalang utamanya adalah Soekarno..."

"Ehh bukannya Soekarno dulunya sedikit akrab dengan PKI ya. Ahh gue jadi pusing.  Tanya guru besok ahh", gumamnya dalam nyaringnya lagu Edm diangkot ini. Venicia mengarahkan pandangannya ke arah supir. Tangan kiri si supir melambai-lambai selaras dengan musik yang seolah memecah perhatian pengendara lain yang mendengar betapa nyaringnya musik yang keluar dari angkot ini.

***

Variabel CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang