03

924 20 0
                                    

Diandra memejamkan matanya merasakan perih yang mulai menjalar di pipi sebelah kanannya.

"KENAPA?! KAMU MAU NANGIS? AYO COBA SINI AYAH LIHAT GIMANA PUTRI KESIALAN AYAH INI NANGIS?!"

Lagi. Ayahnya akan memilih untuk main fisik jika sudah dihadapkan dengan kekecewaan tak beralasan dari putrinya. Semenjak 7 bulan berpisah memang tidak ada harapan untuk mereka berdua berdamai.

"AYAH CUKUP! UDAH EVAN GAK KUAT LIHAT DIANDRA DIGINIIN BIARIN DIA MILIH SENDIRI APA MAU DIA!" Bentakan dari Evan mampu membuat emosi ayahnya itu berganti.

"Dibayar apa kamu sama kembaranmu ini buat ngebentak ayah?! HA??" balas ayahnya dengan teriakan lantang. Emosinya tetap sama, selalu memuncak dan meletus tak kenal waktu.

Melihat ayahnya itu semakin mendekati adiknya Diandra segera berlari dan menghadang langkahnya, "jangan apa-apain Vano, kalo ayah mau marah sama aku, ayah mau nampar dan mukul sama aku aja tapi jangan sentuh Vano."

Evan tertegun dan meraih satu tangan kakaknya yang direntangkan itu. Melihat wajah ayahnya masih menggebu-gebu ia angkat bicara, "Ayah capek, lebih baik istirahat, Diandra biar aku yang ngurus, udah bukan urusan ayah kan?"

Tanpa menunggu jawaban dari sang ayah, kedua kakak-adik itu langsung pergi ke luar menuju mobil dan menancapkan gasnya. Selama di perjalanan Diandra masih terdiam dan luka bekas pukulan di pipinya mulai terlihat jelas karna warna merah sudah mulai merata.

Dari dulu, Diandra yang sudah dibentuk untuk jadi anak perfeksionis dan menjadi seperti boneka yang dapat diatur ini itu oleh keluarganya. Hidupnya tak pernah sekalipun jauh dari kata 'belajar' 'sekolah' 'menjadi pintar' 'membuat bangga'.

Padahal jika orang lain memiliki putri seperti dirinya sudah dipastikan akan ada banyak ucapan memuji dan perasaan bangga atas prestasinya.

Evan yang melihat kakak kembarnya itu masih terdiam lantas memecah keheningan, "Di? Gak harus buat ayah bangga, aku aja udah jauh lebih bangga punya kembaran kayak kamu. Semua gak harus berpusat pada kebahagiaan ayah kok Di, kamu berhak bahagia."

Diandra mendengus pelan dan memberi senyuman miris untuk dirinya sendiri dan menjawab kalimat adiknya, "bahkan sampai aku nanti udah sukses pun kayaknya gak akan ada yang bisa ngelemahin perfeksionis nya ayah dengan ilmu kedokteran Van." Mendengar itu Evan hanya bisa melirik sebentar ke arah Diandra yang masih terdiam dengan tatapan kosong.

"Hey, asal kamu tau ya, itu juga nurun ke kamu Di, gak sadar ya? Kamu itu perfeksionis banget sama kerjaan kamu, dulu waktu masih SMA kamu jadi ketua OSIS inget gak marahin semua panitia waktu event Pagelaran Seni? Kamu bener-bener kelihatan beringas cuma gara-gara ada kecacatan dekorasi, aku inget banget waktu itu banyak adek kelas sama kakak kelas nyerbu aku gara-gara mereka takut," oceh Evan sambil mencoba mengingat kepingan kenangan di masa sekolah mereka.

"Oh, yang berakhir aku adu jotos sama managernya GS itu kan?" Evan terkesiap mendengar ucapan kakaknya yang memiliki ingatan yang bagus. Lalu langsung tertawa keras mengingat kejadian tersebut.

"lagian dulu salah dia juga sih artisnya banyak aneh-aneh," Diandra juga tertawa menanggapi ucapan adiknya. Hatinya menghangat. Selama ini banyak yang memuji Diandra dengan kalimat-kalimat yang disusun bagus dalam surat, sebuah chat, ataupun diucapkan langsung.

Namun, sampai detik ini belum pernah ia merasa puas ketika merasa dihargai dan diakui. Selama ini hanya adik dan ibunya dan terkadang Chandra yang mampu dengan tulus memuji karyanya dengan kalimat "Kamu sudah melakukan yang terbaik". Dan yang berhasil membuat Diandra sangat terkesan adalah mereka menilai dirinya tidak hanya lewat hasil tapi juga usaha keras Diandra yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri.

benefits | 'CSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang