Part 1

40 2 0
                                    

Hola Amigos.. namaku Diego.
Mungkin kalian akan membayangkan seorang pemuda berdarah latin dengan kumis tebal, rahang yang sempurna dan siluet tubuh yang atletis ketika mendengar nama ini. Atau bahkan sebagian kalian akan membayangkan seorang anak laki-laki yang gemar bertualang di dalam hutan, bergelayutan dengan akar-akar tumbuhan dari satu pohon ke pohon lain bersama sepupunya yang bernama Dora.

Tetap saja tebakan kalian tidak benar dua-duanya. Walaupun aku selalu menaruh perhatian pada tayangan yang disuguhkan Nickelodeon itu, tidaklah membuatku mirip dengan sepupu Dora the Explorer yang bernama Diego Marquez dari segi apapun. Lagipula umur kami terpaut cukup jauh dan si Diego itu hanyalah tokoh khayalan. Eh kecuali satu kemiripan kami, aku dan Diego itu sama-sama disukai oleh anak-anak. Setidaknya begitulah yang kurasa, karena keponakan-keponakanku sangat mengidolakan pamannya ini.

Hmmm.. jadi sebenarnya seperti apa rupaku? Ketika aku memperhatikan wajahku dengan seksama pada permukaan cermin, yaa kupikir diriku ini cukup tampan. Walaupun cermin-cermin yang kutatap hanya diam saja setiap kali aku bertanya, "mirror mirror on the wall, who is the fairest of them all?"

Bulan Agustus nanti usiaku genap dua puluh tujuh tahun, tepatnya pada tanggal tujuh belas Agustus. Aku sadar sekali kalau aku ini termasuk dalam jajaran orang-orang yang beruntung karena dilahirkan bersamaan dengan merdekanya negaraku tercinta. Endonesiiah, pok pok pok pok pok.. yeaahh. Maafkan aku terlalu excited, maksudku Indonesia. Eitss waits, barusan aku bilang dilahirkan bersamaan dengan merdekanya negaraku tercinta. Sepertinya aku lupa menambahkan kata "tanggal" sebelum kata "merdekanya". Semoga kalian bukan pembaca yang detil dalam memperhatikan sesuatu, dan mengira aku ini vampir immortal karena telah hidup ratusan tahun yang lalu sejak kemerdekaan negara kita.

Baiklah untuk mempersingkat tulisan, sebelum kalian kehilangan rasa penasaran akan wujud Diego bukan Marquez ini. Izinkan aku.. izinkan aku..
Mohon maaf ada lagi yang harus kuralat pada paragraf sebelumnya, mengenai vampir immortal. Yah lebih tepatnya hitung-hitungan angka kemerdekaan negara kita yang tidak akurat aku sebutkan. Setelah kutanya langsung kepada Siri yang bersemayam dalam iPhoneku, iPhone 11 Pro Max. Ternyata tahun dua ribu dua puluh dan tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima hanya terdapat selisih sebanyak tujuh puluh lima tahun saja, bukan ratusan tahun seperti yang kutuliskan di atas.
Seperti inilah kronologi percakapan singkatku dengan Siri jika kalian mau tau. "Hey Siri.." sapaku, aku sengaja menyapa Siri terlebih dahulu karena aku khawatir Siri sudah terlalu lelah meladeni pertanyaan-pertanyaan ponakan-ponakanku seharian ini.  Untungnya Siri segera membalas sapaanku, "Hi there. How can I help?" tanyanya.
Tanpa basa-basi panjang lebar aku langsung saja to the point "What's two thousand twenty minus one thousand nine hundred forty-five?"
"Seventy-five" Siri menjawab cepat, lebih cepat dari sambaran-sambaran kilat di langit malam mendung yang biasanya kuperhatikan dengan takjub pada saat membantu kakakku mengangkat jemuran kering yang terabaikan sejak pagi hingga malam di rooftop rumah kami. Seventy-five adalah tujuh puluh lima, pun seandainya aku terlahir pada tahun negara kita merdeka tentu saja itu tidak memenuhi standar untuk menjadikanku seorang vampir. Nenekku saja usianya sudah delapan puluh tahun dan kujamin dia bukan vampir karena aku tidak pernah sekalipun melihat tanda-tanda yang mencurigakan pada nenek. Dalam penglihatanku nenek menua dengan sangat normal, walaupun saat ini nenek masih kuat dan sehat karena rutin berenang setiap hari. Bahkan semasa mudanya, nenekku berhasil menangkis penuaan dini tanpa harus pergi ke salon-salon mahal dan melakukan treatmen-treatmen aneh yang menyakitkan lahir dan batin itu.

Sebelum kalian semakin bingung dan menguap lebar karena menunggu-nungguku melanjutkan apa yang seharusnya keceritakan sejak awal. Izinkan aku mendeskripsikan kerupawananku agar kita dapat berkenalan lebih lanjut.
Baiklah...
Namaku Diego, Diego saja. Tidak ada tambahan nama lain sebelum atau sesudahnya. Aku tidak tau apa alasan pasti ayah dan ibu menamaiku dengan satu suku nama saja. Boleh jadi itu bentuk penyesalan mereka karena telah memberi nama yang super panjang untuk kakak perempuanku. Tapi aku sangat bahagia dengan namaku yang singkat ini. Berbeda dengan kakak yang namanya terdiri dari empat suku kata, Alabama Putri Ginastacia Zahratunnissa. Sebenarnya aku kasihan pada kakak, kakak selalu menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas ketika ujian. Karena selain harus menghitamkan bulatan-bulatan huruf untuk namanya yang sangat panjang, kakak juga murid yang malas belajar dalam semua mata pelajaran kecuali pelajaran seni rupa yang tidak pernah ada ujiannya . Dan ketika musim ujian tiba, kakak akan selalu uring-uringan dan mengomel membayangkan pekerjaan menghitamkan tiga puluh lima bulatan huruf pada kolom nama saja. Malah kakak pernah kepikiran untuk menyewa joki agar dapat menggantikannya menghitamkan tiga puluh lima bulatan huruf di lembar-lembar ujiannya. Sayangnya, tidak pernah ada yang berminat pada tawaran kakak walaupun kakak sudah mencetak puluhan selebaran pada kertas tipis berwarna-warni yang kemudian ditempelkannya pada tiang-tiang listrik di sekitar rumah tempat kami tinggal. Kakak menawarkan imbalan seribu rupiah per satu huruf yang dibulatkan beserta bonus tiket menonton film di bioskop untuk satu orang. Ada-ada saja memang kak Bama. Sebenarnya nama panggilan kakakku adalah Putri, tapi semenjak sebelas tahun yang lalu aku merubah nama panggilannya menjadi Obama. Terinspirasi dari nama presiden Amerika yang ke empat puluh empat yaitu Barrack Obama. Tentu saja kakak tidak suka dipanggil Obama, dia menjitak kepalaku dengan serius setiap kali aku memanggilnya Obama. Jadi sekarang aku menyamarkannya menjadi Bama saja. Tetapi di dalam hatiku, nama panggilan kakak tetaplah Obama.

DIEGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang