PEBINoR

63 5 0
                                    

"Mas, ada waktu buat ketemu gak?" suara serak di seberang sana berhasil mengalihkan perhatianku dari layar komputer.

Nada yang terdengar lemah membuat aku menghembuskan nafas berat. Dalam sebulan ini, dia sudah dua kali meneleponku dengan nada yang sama. Dua minggu yang lalu, saat aku baru pulang dari kajian Minggu pagi, dia menghubungiku.

"Kenapa gak kamu tinggalin saja dia?" aku bergumam lirih saat kami duduk satu meja. Aku bahkan enggan menatap wajahnya yang sayu karena banjir air mata. Setengah terisak dia menenggelamkan wajahnya di antara telapak tangan. Aku sudah bosan menjadi pendengar setia drama rumah tangga dia yang terlalu tragis menurutku.

Dua tahun pacaran, lima tahun dalam masa penantian memiliki momongan, sampai sekarang Aura berusia satu tahun, tetap saja tak dapat mengubah keadaan rumah tangga mereka.

Sakti, lelaki yang hanya bermodal tampang serta rayuan itu, tak kunjung menunjukkan sikapnya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Aku sendiri tak tahu, apa yang salah dengan isi kepala pria itu. Membiarkan Diva, istrinya untuk bekerja di luar sana, sementara ia sendiri menjalankan usaha yang tak kunjung membuahkan hasil.

Entah sudah berapa banyak modal yang dikeluarkan oleh keluarga Sakti, kedua orang tua Diva bahkan wanita itu sendiri pada awal pernikahan mereka untuk bisnis yang Sakti kelola. Mulai dari toko bangunan, mini market waralaba, rumah makan dan yang terakhir jasa ekspedisi tengah dijalankannya. Namun ternyata hasilnya sama saja, defisit. Bagaimana tidak rugi, kalau setiap kali pemasukan selalu dialihkan untuk kepentingan pribadi pemilik usaha, tanpa pernah memikirkan modal harus tetap berputar.

Kebiasaan buruk Sakti yang gemar judi online adalah penyebab utama kegagalan di setiap usaha yang dikelolanya. Padahal yang aku lihat selama ini, usaha-usaha itu memiliki prospek bisnis yang menjajikan.

"Aku gak tau harus gimana lagi mas! Aku sudah sangat lelah. Semalam kami bertengkar gara-gara aku memindahkan penyimpanan surat-surat berharga kami" wajah tirus itu menunduk dalam.

"Puncaknya... dia... dia mengantarkan aku balik ke rumah bapak... " kini hanya isakan yang memilukan hati yang terdengar sama perihnya bagiku.

Untung saja saat akhir bulan seperti ini, suasana di poli rehabilitasi medik rumah sakit terbilang sepi. Kami adalah pengunjung terakhir di poli ini, sudah setengah jam yang lalu poli tersebut tutup. Aku hanya bisa diam, tak tahu harus berkata apalagi, antara kasihan namun juga jengah dengan sikap Diva maupun suaminya. Mau dinasehati seperti apapun, unjung-ujungnya akan tetap sama, memaafkan. Dan Aura, tentu saja menjadi jawaban diplomatik bagi wanita di depanku ini.

"Sudah cukup kamu jadi wanita bodoh yang tak punya harga diri, Dek! Coba ikuti saran kami, menjauhlah dari Sakti untuk beberapa bulan ke depan, biar dia sadar arti kehadiran kamu dan juga Aura. Dan juga biar otakmu yang sudah tidak sinkron itu bisa berpikir jernih soal pernikahan kalian selanjutnya... please, pikirkan nasib Aura" agak ragu aku menggenggam tangan putih itu. Berusaha menyalurkan energi positif padanya.

Ya, Aura adalah alasan terkuat wanita itu untuk bertahan menghadapi sikap bodoh suaminya. Diva terlalu takut jika Aura menjadi anak yang negatif seperti yang diberitakan di media-media sekarang, yang cenderung menganggap anak adalah korban utama dari perceraian orang tua. Harusnya dia lebih tahu, bahwa Aura akan menjadi wanita bodoh selanjutnya jika harus tumbuh di antara pertengkaran orang tua, dipaksa mendengar dan melihat perbuatan kasar sang ayah.

Sakti memang tidak melakukan tidakan kekerasan, namun sering dia membentak, mencaci bahkan menyiram wajah istrinya di depan orang lain. Sekalipun di depan keluarga besar maupun lingkungan sekitar, tetap saja menurutku tindakan itu adalah tindakan pengecut.

******

"Undangan sudah aku sebar dek" ucapku pelan, takut membangunkan si kecil yang baru saja terlelap di jok belakang.

Ia hanya tersenyum tipis sambil memperhatikan lalu lintas jalanan yang kami lewati. Sudah cukup lama aku menunggu momen ini. Sudah cukup aku menahan gejolak tiap kali melihat dia bersama dengan Sakti. Namun, masa itu telah berlalu, seminggu lagi dia akan resmi menjadi milikku.

Sakti terlalu bodoh untuk bisa mendampingi wanita secantik dan sebaik Diva. Dulu saat mereka pacaran, wanita itu telah banyak disakiti oleh lelaki brengsek itu. Mobil, motor, perhiasan bahkan handphone Diva pernah ia gadaikan gara-gara hutang kalah main judi. Keluarga Diva pun sampai tak mau mendatangi pernikahan mereka, akad nikah diserahkan pada wali hakim.

Diva adalah wanita yang tangguh yang tak mudah menyerah pada keadaan, namun terperosok pada cinta buta. Mereka menikah, berharap dengan ikrar suci, suami dapat berubah dan bertanggung jawab. Namun hasilnya masih mengecewakan. Lima tahun menikah, lahirlah Aura, kembali ia berharap sang suami bisa mendapat hidayah. Lagi-lagi hanya khayalan semata.

Satu tahun yang lalu, saat Aura baru berusia empat bulan, aku tiba-tiba terserang stroke ringan yang membuat bagian tubuh sebelah kiri sulit untuk digerakkan. Diva dengan telaten mengantarku periksa, menemaniku terapi hingga aku bisa kembali bergerak normal seperti sedia kala. Dia tak pernah mau aku berikan uang maupun hadiah lainnya.

Hingga suatu hari Sakti datang dan mengetahui perasaanku pada istrinya yang aku pendam rapat selama ini. Ya, sudah sejak lama menyimpan rasa pada Diva, dia dan suaminya tinggal seatap denganku serta orang tuaku. Karena rumah mereka sudah dijual untuk menutupi hutang-hutang Sakti. Sakti berbicara denganku layaknya pria dewasa dengan pria dewasa, bukan seperti selama ini, adik kepada kakak yang selalu minta uang. Hari itu aku memberi penawaran yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Delapan bulan setelah mereka bercerai, aku melamarnya. Semua merestui hubungan kami, bahkan si kecil Aura sudah aku anggap anak sendiri. Sejak kecil, memang aku membiasakan bocah itu untuk memanggilku ayah, karena aku hanya beda sepuluh bulan dari Sakti. Dan dia memanggil sakti papa. Wajah kami hampir mirip, hanya postur tubuh sakti lebih tegap dengan kulit bersih.

kumpulan cerpen EsWeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang