Sepenggal Kisah

29 4 0
                                    

Saya divonis dokter mengidap epilepsi sejak tiga tahun yang lalu. Awal vonis, saya merasa tidak terima, menyangkal vonis tersebut dengan mencari second opini ke dokter lain. Saya ceritakan riwayat saya yang pernah koma karena penyumbatan di otak akibat penggumpalan darah ketika berusia dua puluh dua tahun. Penyebabnya karena saat itu saya meminum obat dari dokter yang harusnya separuh butir, saya minum utuh dikarenakan ukuran obat yang kecil sehingga saya tidak bisa mematahkannya menjadi dua.

Saya berobat ke dokter umum karena keluhan sakit gigi serta tensi yang rendah. Jarak sepuluh menit, tiba-tiba kepala rasanya seperti dihantam palu hingga merasakan pusing yang amat hebat, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya seumur hidup saya.

Lalu saya mencoba berpikir positif, bahwa mungkin dengan tidur rasa pusingnya akan berkurang. Dan ketika tiba-tiba saya terbangun entah setelah sekian lama tidur, saya merasa kaget karena merasa semuanya gelap, benar-benar gelap tanpa seberkas cahaya sedikitpun. Saya mencoba untuk tenang, mengambil hp yang selalu ada di sebelah bantal, kemudian menekannya semampu saya. Ternyata saya salah panggil, suara yang ada di seberang sana bukan suara suami, dan saya kemudian menutupnya setelah meminta maaf sebelumnya.

Masih mencoba berpikir positif, saya mulai mensugesti diri sendiri bahwa apa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi, jika saya kembali tidur maka saya akan dapat melihat lagi. Beberapa saat saya kembali tidur dan kemudian terbangun karena ada yang menepuk kaki saya agak keras.

Dan ... kenyataan pahit kembali saya dapati bahwa pandangan saya tetap gelap gulita, tanpa ada setitik cahayapun.

"Mbak, bayimu nangis itu lho!" ucapan adik ipar saya membuat saya tersadar bahwa sedari tadi saya mengabaikan si kecil yang baru berusia satu tahun. Rasa panik kembali menyerang saya. Tanpa menjawab, saya justru gelagapan meraba-raba apapun di sekitar saya. Syukurnya malam itu pintu kamar tidak saya kunci seperti biasanya. Memang tiap malam adik ipar saya selalu numpang ke toilet karena dia berjualan wedangan di pinggir jalan raya dekat rumah saya.

"Aku buta, ya Allah aku gak bisa melihat apa-apa .... " Kali ini saya benar-benar menangis histeris.

"Tak telepon mas Tofa ya!" suara adik saya juga tidak kalah cemasnya. Saat itu suami memang bekerja di sebuah kafe dari mulai jam sembilan malam hingga tiga dini hari.

Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Hingga tiba-tiba sabuah tepukan yang cukup keras saya rasakan di pipi saya. Dan saya mendengar suara suami tanpa bisa melihat wajahnya. Kembali saya menangis panik.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" suara suami terdengar tegas. Ketika dipapah keluar, saya masih ingat bahwa saya mengatakan ingin buang air kecil dahulu sembari menunggu taksi datang. Keluar dari kamar mandi saya mutah beberapa kali. Menurut suami yang terakhir saya mutah darah dua kali.

Lama menunggu taksi, kesadaran saya kembali menurun hingga akhirnya terpaksa kami menaiki becak karena taksi tak kunjung datang. Saya sudah tidak ingat lagi perjalanan dengan becak tersebut. Kata suami, saya sempat kejang saat berada di depan pintu IGD. Masih menurut cerita suami, keadaan saya mulai stabil saat di IGD, namun ketika suami sedang mengurus administrasi, dia dipanggil oleh perawat yang mengabarkan bahwa saya berada dalam keadaan koma sehingga harus segera dipindah ke ruang ICU.

Saat itu waktu sudah menjelang dini hari ketika suami mengabarkan pada ibu saya yang sedang berada di kampung. Kebetulan pula ketika beliau ditelepon, beliau sedang dalam perjalanan pulang berjualan dari Semarang menaiki bus umum. Alhasil tangis ibu saya tidak pernah berhenti sepanjang perjalanan dari Semarang ke Grobogan.

Sampai di rumah ibu segera bergegas mengabari seluruh keluarga saya. Berdua dengan bapak, beliau mendatangi rumah sakit swasta tempat saya dirawat. Bagaimanapun saya adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami. Kedua kakak kembar saya adalah laki-laki.
Dari kecil saya tergolong anak yang sehat, jarang sekali sakit. Bahkan bisa dicek dalam buku rapor saya dari SD sampai SMA, hampir tidak pernah saya absen dengan alasan sakit.

Sampai di rumah sakit, dokter menjelaskan kondisi medis saya pada keluarga. Ternyata saya mengalami penggumpalan darah di otak yang disebabkan oleh tekanan tekanan darah tinggi. Saat masuk ke UGD, tekanan darah saya mencapai 200/120 padahal usia saya baru dua puluh dua tahun. Dokter meminta keluarga menceritakan riwayat medis saya. Apakah saya pernah jatuh yang mengakibatkan cedera kepala ataupun penyebab lainnya dari penyumbatan darah di otak saya.

Dan bapak adalah sosok yang paling tahu tentang saya. Tak pernah saya menderita penyakit berat apapun sebelumnya. Cuma dulu ketika liburan sekolah, saya pernah diopname karena badan saya lemas akibat pusing dan demam yang salah satunya disebabkan tekanan darah saya yang rendah.

Ketika saya membuka mata, saya heran kenapa ada ibu dan bapak saya di sebelah saya. Lebih heran lagi setelah bapak menanyakan orang-orang yang ada di ruangan saya saat itu. Saya menjawab pertanyaan bapak, meskipun merasa aneh, sebab beliau juga menyakan nama lengkap suami dan anak saya. Setelah saya dapat menjawab semuanya secara benar, saya melihat semua yang ada di ruangan saat itu menghela nafas lega. Tak terkecuali ibu, yang sejak tadi saya lihat terus menangis dengan mata yang bengkak.

"Aku kok ada disini to pak? Kok dipasang kayak gini juga?" saya bertanya heran setelah mendapati tubuh yang dipasang selang infus, selang oksigen dan juga selang kateter atau selang pipis. Tangan saya bahkan hendak mencopot semua selang tersebut karena merasa risih. Namun dengan sigap segera dicegah oleh suami.

Kemudian bapak mulai menjawab pertanyaan saya satu persatu. Ternyata saya sudah dua hari dinyatakan koma oleh dokter. Adanya penggumpalan darah di otak yang diakibatkan tekanan darah tinggi membuat sebagian fungsi otak saya terganggu. Termasuk buta sesaat yang saya alami ketika masih di rumah. Untungnya saat itu segera dibawa ke rumah sakit, sebab jika telat sedikit saja, akan menjadi buta permanent bahkan meninggal dunia. Dokter juga mengatakan bahwa kemungkinan ketika saya sadar, akan kehilangan beberapa memori di otak.

Maka dari itu, bapak menanyakan tentang nama-nama orang yang ada di ruangan tersebut. Dari cerita beliau ternyata ketika saya koma dua hari, mata saya tetap terbuka namun tidak ada respon ketika ada gerakan di depannya. Bahkan kedua kaki dan tangan saya terpaksa sempat diikat ke sudut-sudut ranjang dikarenakan gerakan-gerakan saya yang di luar kendali.

Setelah saya dinyatakan sadarpun, kata bapak memori saya masih terganggu. Selama dua hari dipindahkan ke bangsal, banyak saudara, tetangga serta teman kampus bersama dosen yang menjenguk saya. Namun saya sama sekali tidak dapat menyebutkan nama mereka, bahkan untuk berkomunikasi saja saya masih belum mampu. Dan syukurnya di hari ketiga, akhirnya saya mulai bisa berkomunikasi meskipun belum lancar.

Total hampir enam hari saya dirawat dan akhirnya diperbolehkan pulang. Ibu bahkan sampai menginap ditempat kami yang sempit demi memastikan bahwa saya sudah sehat. Dari rumah sakit saya diberi beberapa obat, antara lain oxicobal (vitamin saraf), depakote dan phenythoin (obat kejang), captopril serta beberapa obat lain yang saya lupa namanya. Setelah sepuluh hari dan obat habis, saya kembali kontrol ke rumah sakit. Dan alhmdulillah saya dinyatakan sembuh sehingga tidak perlu lagi melakukan kontrol selanjutnya.

Saat itu saya sudah semester akhir kuliah dan sedang tahap penuntasan beberapa SKS untuk kemudian penyusunan skripsi. Alhmdulillah, para dosen serta pembimbing memahami keadaan saya. Sehingga di kala teman-teman lainnya sibuk konsultasi dan berburu tanda tangan hingga ke rumah dosen yang jauh jaraknya. Saya diberi kemudahan oleh beliau-beliau, sehingga hanya cukup dua hingga tiga kali konsultasi saya berhasil mendapatkan tanda tangan dari mereka.

Selama proses konsultasi dan berburu tanda tangan saat penyusunan skripsi, suami tidak mengijinkan saya mengendarai sepeda motor sendiri. Selain saya yang kurang paham lokasi tempat tinggal dosen, juga karena kondisi fisik saya yang masih lemah dan cenderung mudah lelah. Saya juga menjadi pelupa akut. Beberapa kali saya meninggalkan motor saya di tempat lain. Saya pernah meninggalkan motor saya di warnet selama hampir dua belas jam. Beberapa kali juga pulang berjalan kaki dari pasar, padahal saat berangkat saya mengendarai motor. Tukang parkir sampai memaklumi keteledoran saya.

Saat masak, jangan tanya lagi, lebih parah. Kadang masakan saya berasa air laut, kadang enegh karena dua kali saya memasukan penyedap rasa. Namun kadang hambar sama sekali ataupun cemplang karena  lupa memasukan garam maupun penyedap.

*Lanjut kapan-kapan saat otak saya bisa diajak kompromi lagi ya ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

kumpulan cerpen EsWeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang