Kehilangan

38 5 0
                                    

"Mas, tadi ibu telepon."

"Terus ada apa?"

"Ehm... anu.., ibu mau minta tolong," aku ragu untuk melanjutkan ucapanku. Suamiku dikenal orang disekitarku sebagai sosok yang dermawan. Tak segan dia membantu siapapun di lingkungan kami, tanpa terkecuali. Tapi dia adalah lelaki yang sudah sepuluh tahun menjalani hidup bersamaku. Aku tahu, paham betul bagaimana sifatnya, baik di dalam maupun di luar.

Perekonomian kami memang mulai membaik beberapa tahun terakhir. Usaha warung makan yang kami rintis memang mulai memberikan untung yang dibilang lebih dari lumayan. Dulu kami memulainya dari bawah sekali, dibantu oleh orang tuaku di kampung untuk modal awalnya. Namun seiring bertambahnya rejeki kami, bertambah pula jiwa sosial suamiku. Setiap hari ada saja yang minta tolong padanya, entah mau pinjam uang, pinjam kendaraan sampai hal-hal sepele. Dia selalu siap sedia bila orang lain membutuhkan. Namun tidak dengan aku dan keluargaku.

"Ibu mau mengganti genting dan papan di rumah, sebentar lagi musim hujan. Tahun kemarin bapak sudah kepayahan mengganti genting yang bocor. Rumah itu sudah lebih dari tiga puluh tahun tidak diganti genting dan papannya, mas" aku memberanikan diri mengatakan maksudku.

"Iya nanti aku pikirkan" jawabnya sambil lalu, tanpa memperhatikanku.

Sebenarnya aku mempunyai simpanan, namun sudah aku gunakan untuk merenovasi rumah kami. Mengingat Raysa, putri kami sudah mulai remaja dan membutuhkan kamar sendiri. Aku sudah sering meminta uang untuk renovasi, namun selalu dijawab sama, "nanti aku pikirkan". Belakangan ini aku mulai merasakan kehilangan sosok suamiku yang dulu. Bagaimana tidak, dia selalu ada jika orang lain membutuhkan, dia selalu memperhatikan orang-orang di sekitar kami. Tapi tidak dengan aku dan keluargaku.

"Dek, besok akan ada renovasi masjid. Tadi aku sudah mendaftar untuk ikut menyumbang" ucap suamiku ketika pulang dari masjid.

"Ya gak apa-apa mas, memangnya mau ikut nyumbang berapa?" perasaanku mulai merasa tidak enak.

"Ya, sesuai dengan jumlah yang ada di buku tabungan kita"

"Lho, lha terus gimana dengan rencana membantu bapak dan ibu di kampung?"

"Ya Allah dek, urusan masjid lebih penting daripada urusan rumah orang tuamu. Kan bisa lain kali!" tegas suamiku tidak mau dibantah.

Aku tak mampu menjawabnya, lelah, karena kejadian seperti ini sering berujung pada pertengkaran. Tanpa diminta bulir-bulir ini meluncur ke pipi. Aku kehilangan sosok yang dulu mendengarkan pendapatku. Meminta pertimbangan disetiap tindakannya.

kumpulan cerpen EsWeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang