Bukan Rasa Yang Sama

34 5 0
                                    

"Wanita bodoh, pemalas! Cepat pijitin aku!" teriakmu sebelum aku sempat meraih bantal tidur.

Karena teriakanmu pula, Raisya putri kita yang baru saja terlelap ikut bangun, menatap heran padaku. Dengan isyarat kedipan mata, bidadari usia sembilan tahun itupun paham, segera menutup matanya kembali. Entah melanjutkan mimpinya atau hanya pura-pura memejamkan mata. Ku elus sejenak wajah polosnya, agar ia tertidur kembali dan tak perlu mendengarkan rentetan ucapanmu yang tak manusiawi.

Sejujurnya hari ini aku amat letih. bangun tidur mulai pukul tiga pagi, menyiapkan segala keperluan jualanmu hari ini. Menyelesaikan cucian serta setrikaan yang belum selesai di hari sebelumnya. Berkutat di dapur hampir sepuluh jam untuk memenuhi pesanan snack tetangga tiga ratus porsi, sendiri, ya...hanya aku seorang diri.

Bahkan ketika kau pulang setelah kumandang ashar, aku masih belum sepenuhnya selesai dengan tugasku di dapur. Dengan entengnya kau menyuruhku untuk menemanimu makan, meski makanan dan minuman sudah tersedia di hadapanmu. Tetap saja harus di sampingmu sampai suapan terakhir yang disusul dengan segelas es teh manis dan sebatang rokok sebagai penutup hidangan.

Sebenarnya aku tak ingin mengeluh, karena semua itu adalah tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Namun hari ini aku benar-benar lelah dan muak dengan semua cacianmu. Kamu, suamiku, lelaki yang telah sepuluh tahun lebih aku agungkan, ku hormati dan ku layani sepenuh hati, ternyata semakin lama membunuhku secara perlahan.

"Kamu itu dek, kalau sudah malam jangan lupa buat mijit badanku. Aku ini capek dek, tiap hari kerja banting tulang untuk kalian berdua, masih kau bebani dengan tagihan hutangmu yang segunung."

"Apa kamu nggak mikir, coba seandainya aku nggak bayar cicilan hutang-hutangmu itu?"

"Entahlah, aku merasa gak dihargai lagi jadi suami. Setiap malam ingin istirahat dengan kondisi rumah yang bersih dan rapi, tapi kenyataannya apa?"

"Rumah berantakan.. dan coba kamu lihat dirimu! Tiap hari bau minyak angin, sampai mau muntah aku kalau di dekatmu. Jangan salahkan aku kalau suatu saat aku mencari wanita lain, kalau keadaannya masih seperti ini!" ancammu malam ini, tepat ketika jarum jam pendek di angka sepuluh.

Aku hanya mampu diam mendengarkan tiap cemoohanmu. Aku akui memang aku tidak seperti dulu lagi, yang menyambutmu dengan senyum merekah, tubuh yang wangi serta tangan halus yang terulur mencium telapak tanganmu. Sadarkah kau wahai imamku, ada yang salah dengan hubungan kita saat ini?

Sepuluh tahun yang lalu aku menerimamu dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Tanpa pernah aku memperdulikan status sosial serta asal usulmu. Aku mencurahkan seluruh hatiku padamu, meski harus bersitegang dengan keluargaku, terlebih kedua orang tuaku. Menelan getir saat harus menyakiti orang tuaku karena aku lebih memilih mendampingimu daripada merawat mereka yang mulai menua karena usia.

Suamiku, tolong ingatlah saat kita baru mulai berumah tangga, kita terpaksa tinggal di kamar kontrakan hanya ukuran 3x4 , yang harus kita bagi antara dapur serta kasur. Hidup hanya bermodal lima ratus ribu sebulan untuk makan serta bayar kontrakan. Apa pernah kamu mendengar aku mengeluh tentang ekonomi kita, mengeluh tentang rasa penat akibat pekerjaan rumah tangga. Meminta baju baru atau sekedar susu bahkan jajan bagi si kecil pun, tak juga aku lakukan.

Sungguh, kala itu aku anggap adalah masa paling bahagia dalam rumah tangga kita. Meskipun miskin, tapi kamar kontrakan kita selalu dipenuhi canda dan tawa. Tahu, tempe, sayur bening adalah menu rutin yang aku sajikan hampir tiap hari di depan televisi bersebelahan dengan kasur yang kita tiduri.

Dan ingatlah, apakah dulu engkau pernah mengeluh tentang menu masakanku? Tidak sayang, dimasa itu tak sekalipun kamu mencela menu masakanku maupun penampilanku yang hanya mampu memakai bedak tabur seribuan rupiah dan berparfum kispray, si pelicin dan pewangi pakaian.

kumpulan cerpen EsWeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang