Chapter 5

133K 8.3K 49
                                    

🎵Tak kan pernah berhenti untuk selalu percaya, walau harus menunggu seribu tahun lamanya🎵

Aerin yang sedang packing, melihat ke hpnya. Ada wajah Bagas disana. Aerin menekan sejumlah angka, terdengar bunyi klik dari pintu pagar dan pintu masuk rumahnya. Bagas datang untuk mengantarnya ke airport.

"Ada sarapan lebih, mbak?"
Pertanyaan pertama dari Bagas dengan wajah yang masih mengantuk berat.

Pukul 5 pagi, dalam 1 jam kedepan Aerin sudah harus berada di airport untuk terbang dengan pesawat paling pagi ke Surabaya.

"Ada dong. Udah aku siapin. Sarapan gih." Bagas langsung menuju ke meja makan mungil di dekat dapur. Ada sandwich berlapis keju dan smoked beef disana.

***

"Mbak Ririn, makasih untuk kesempatan ikut short course di NUS Singapore," ucap Bagas sambil mendorong luggage bag Aerin.

"Wow...sudah di approved?" Aerin suprised banget. Baru kemarin siang ia meminta Mas  Andy untuk approve. Bagas mengangguk.

"Tadi malam Mas Andy tanya ke aku, apa aku bisa ke Singapore selama 3 bulan." Bagas tidak bisa menyembunyikan wajah antusiasnya.

"Perfect! Kamu harus siap ya. Ntar waktu aku balik, kita punya waktu seminggu untuk briefing kamu tentang course itu. Aku pernah jadi salah satu asisten mentor sebelum bergabung di Global." Bagas terbelalak.

"You are my hero, mbak. I will do my best."

"Siip, I believe in you." Aerin bahagia melihat Bagas yang sangat bersemangat.

Bagas pantas mendapatkan yang terbaik. Bagas sering mengingatkan Aerin pada dirinya. Seandainya papa tidak mengambil ia dengan paksa, mungkin ia akan seperti Bagas. Punya IQ tinggi tapi hanya mampu mendapatkan pendidikan di sekolah atau universitas yang sangat standar sehingga sedikit banyak menghambat langkahnya dalam karier. Ia mendapati Bagas seperti itu. Bagas pintar tapi orang-orang selalu menganggap ia sangat biasa karena bukan lulusan universitas top.

Aerin merasa dirinya sangat beruntung. Papa, walapun hubungan mereka sangat jauh dari hubungan orangtua dan anak yang seharusnya, tapi papa tetap memberikan ia  pendidikan di tempat yang terbaik.

***

Pukul 7 pagi saat Aerin mendarat di Surabaya. Pak Sholeh, salah satu supir keluarga, sudah menunggunya di deretan penjemput.

"Apa kabar, Non Irin?"

"Baik, pak. Bapak sehat?"

"Sehat, non. Kita langsung ke rumah?

"Aku mau singgah di toko bunga dan makam mami. Kalau bapak ada kerjaan lain, drop aku di toko bunga saja, ntar aku naik taxi." Aerin segan banget mengganggu jadwal kerja Pak Sholeh.

"Saya antar non kemanapun non mau pergi, tadi nyonya sudah kosongkan jadwal saya sampai makan siang nanti."

Aerin ngerasa suprised banget. Bahkan lebaran tahun lalu saat ia mudik, tidak ada yang menjemputnya padahal papa punya beberapa supir yang stand by di rumah.

"Makasih, pak."

***

Mereka singgah di toko bunga, Aerin membeli buket Anggrek Bulan berwarna putih. Almarhumah mami adalah penggemar Anggrek Bulan.

Jarak ke makam mami berkisar 30 menit dari jalan menuju ke rumah. Keluarga mami memang berasal dari Surabaya, setelah bercerai dengan papa, mami memilih kembali ke kampung halaman dan meninggal di desa masa kecilnya.

Aerin meletakkan buket bunga diatas makam mami. Makam mami sangat bersih, mami punya beberapa adik yang memang rajin mengunjungi makamnya.

Walapun kisah hidupnya bisa dibilang menyedihkan, namun dimata adik-adiknya, mami adalah sang savior keluarga. Saat menikah dengan papa dan punya banyak uang, mami mempunyai banyak simpanan yang dipakai buat menolong adik-adiknya.

Bukan itu saja, masuk ke kalangan elite juga membuat mami tak melupakan adik-adiknya. Tante Rossa salah satu yang berhasil mendapatkan suami kaya. Tante Rossa sangat berhasil, hubungannya dengan Om Nando langgeng sampai sekarang, bahkan mereka sudah punya 2 cucu lucu.

"Mi, sekarang aku sudah berusia 29 tahun. Wish me luck for the next step of my life. Bantu aku ketemu dengan pria baik dan menyayangiku," ucap Aerin di dalam hati sambil mengusap pusara bertuliskan nama maminya. Aerin bangkit dan melangkah keluar dari pemakaman.

***

Tiba di rumah, Aerin melihat kesibukan para pekerja rumah. Mbak Sarah, asisten mama menyambut kedatangannya.

"Apa kabar?"

"Baik, mbak. Waah...ada acara di rumah?" Sarah tersenyum.

"Acara ulang tahun kamu, besok." Aerin mendelik.

"Ulang tahunku? Mama bilang hanya makan malam keluarga."

Aerin susah sekali untuk percaya. Setelah sekian lama...ini mungkin saat yang ditunggu-tunggunya, menjadi anggota keluarga seutuhnya.

"Kamu sudah sampai..." Suara mama masih setegas sebelumnya. Aerin berpaling, tersenyum dan melangkah ke sosok cantik nan bersahaja itu. Wajahnya tetap cantik diusianya yang sudah 65 tahun, hanya saja wajah itu tampak sedikit letih.

"Mama," ucapnya sambil memeluk tubuh langsing itu. Biasanya mama langsung memberinya isyarat untuk melepaskan pelukan setelah ia memeluk, tapi kali ini tidak.

"Wajah mama tampak agak pucat. Mama baik-baik saja?"

Keduanya saling menatap, Aerin tahu ekspresi mama sedikit melembut.

"I am not okay. Senin mama harus ke Singapore buat check up."

"Mama sakit apa? Kenapa aku bisa tidak tau?" Diana menatap mata Aerin yang berkaca-kaca.

"Karena mama tidak memberi kesempatan kamu untuk tau."

Air mata Aerin menetes. Iya, mama memang tidak membiarkan ia tahu urusannya.

"Mama sakit apa?" Nada suara Aerin terdengar panik.

Melihat kepanikan itu, Diana tahu, ia sudah banyak menyia-nyiakan waktu berharga untuk menikmati hari-hari bahagia bersama gadis cantik putri suaminya itu.

"Kanker usus. Sekarang dalam proses penyembuhan."

"Aku ikut mama ke Singapore. Aku akan merawat mama. Could you please let me to take care of you?"

Aerin melihat air mata mengalir di pipi mama dan mama langsung memeluknya.

"Of course, darling. I want you to take care of me."

Gunung es telah mencair, Aerin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Ia yakin hari-hari yang akan datang, tidak akan ada lagi sosok Aerin yang selalu tampak ceria secara fisik, tapi batinnya kesepian dan penuh kesedihan.

AKU DI SINI MENUNGGUMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang