satu ; pendatang baru?

86 9 3
                                        

"Liat PR matematika, dong."

Pemilik tangan yang sedang mengguratkan garis di atas tablet-nya, berhenti sejenak ketika mendengar permintaan dari orang yang ada di hadapannya, dahinya mengerut, pikirannya menerawang, berusaha mengingat suatu hal yang harusnya tidak dia lupakan. "Memang kita ada PR matematika?"

Setelah selesai bertanya dengan tampang innocent, gadis tersebut mengaduh, merasakan sakit di dahi akibat sebuah sentilan. Alyn kampret.

"Ye, Oneng! Salah memang gue nanya sama lo."

"Udah tau salah, masih nanya juga," Nana balas mencibir, kemudian dia kembali menggurat garis di tablet-nya dengan tidak acuh. Dia sedang menggambar ilustrasi anak bayi favoritnya yang dia tahu dari platform instagram. Sumpah bayi itu lucu banget, Nana gemes setengah mati. Sampai hanya dalam bentuk ilustrasi pun Nana masih gemes dengan bayi anak dari salah satu seorang selebgram lokal. Uwu, keponakan onlineku~

Lagi pula Nana heran mengapa teman-temannya hari ini pada riweuh banget sama PR matematika. Ini cuma pelajaran matematika kali. Kalau kalian memiliki guru matematika yang killer dan bikin mending tahan kencing dari pada kena semprot, guru matematika kelas Nana sangat baik. Biasa, guru muda. Cakep pula. Anak-anak cowok kelasnya yang tidak suka pelajaran matematika setengah mati, kalau sudah pelajaran Bu Novi—nama guru matematika kelasnya—jadi mendadak rajin kayak kerasukan hantu penunggu kelas.

Kalau Nana sih, suka sama Bu Novi karena nggak pernah marah mau dia kayang sekali pun. Paling dia cuma ngomel dikit sambil ketawa-tawa heran. Gurunya itu memang lumayan receh. Ya, walaupun Nana nggak pernah kayang di kelas. Ibaratnya aja begitu.

"Oi, anak generasi micin! Kamu nggak mau ngerjain PR matematika kayak temen-temen kamu yang lain?" Terdengar suara hardikan dari samping Nana yang masih fokus dengan gambarannya. Dia sudah hafal itu suara siapa.

"Halah, nggak manusia nggak hantu, kenapa pada ribet amat sih masalahin PR gue?" Nana mendengus kesal.

"Itu karena kamu terlalu males! Aku capek liatnya. Nggak ada gairah belajar sama sekali! Gimana mau pinter?"

"Wadoh, lo ngeremehin gue? Gini Mbak Hantu," Nana bertanya pongah, lantas dia membenarkan duduknya, menatap lekat makhluk beda alam itu. Kulitnya sangat pucat, tidak ada rona di wajahnya sama sekali dengan seragam khas anak sekolahan. Syukurlah Nana tidak melihat Mbak Hantu ini dengan wujud yang asli—rambut acak-acakan dan lingkaran mata yang hitam akibat meninggal karena disekap dan disiksa di kelas ini, katanya—jadi dia tidak terlalu tertekan menatapnya seperti sekarang. Baunya pun sedang tidak anyir. "Mungkin gue nggak pinter sama pelajaran sekolah kayak matematika, fisika, dan teman-temannya yang bisa bikin gue mual tujuh keliling macam ibu hamil trimester pertama, tapi tolong Mbak Hantu—"

"Aku punya nama, ya! Kamu dari tadi manggil aku Mbak Hantu-Mbak Hantu, udah kayak costumer lagi nelfon costumer service aja!"

"Nyatanya juga lo hantu! Suka-suka gue, lah! Lagi pula gue ogah manggil nama lo, Kylie, nggak sudi! Kebagusan. Lo pikir pantat lo sebohay Kylie Jenner?" Sebenarnya Nana bingung mengapa orang zaman dulu ada yang namanya Kylie, jadi Nana simpulkan saja sudah pasti itu nama yang dibuat sendiri sama Mbak Hantu ini.

Setelah Nana berujar seperti itu, Kylie langsung memegang bokongnya yang memang rata. Dia termasuk hantu yang baperan kalau sudah bahas bumper depan dan bumper belakang. "Kamu menyakiti hati aku, Na." Kylie cemberut.

"Tuh, jadi hantu kok baperan!" Nana mencibir ketika melihat wajah Kylie yang tertekuk. Dia memang sering mengejek Kylie.

"Udah sana kamu kerjain itu PR matematikanya! Ngeles mulu dari tadi," Kylie berujar tidak kalah judes. Mengalihkan perasaannya yang terasa tersakiti.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang