Sejak kemarin, Mama Nana telah berencana untuk memasak woku belanga—yang merupakan salah satu makanan favorit Nana—hari ini. Oleh sebab itu, saat ini, tidak terlalu mengherankan mendapati sosok Nana yang sudah duduk manis di hadapan meja bar dapur dengan wajah kelewat sumringah. Sangat jarang Nana mau menyentuh dapur ketika Mamanya sedang memasak. Tidak lain, tidak bukan, alasannya karena kalau Nana berada di dapur ketika Mama memasak, dirinya pasti disuruh ikut membantu memasak, sedangkan dia bukan tipe orang yang hobi memasak. Alasan lainnya, sih, ya karena Nana malas. Terlebih lagi kalau memasak dengan embel-embel disuruh, Nana akan semakin malas. Biasanya, Nana akan langsung ngacir, pura-pura sibuk, ketika mendapati Mama yang mulai memasak, meskipun tidak jarang juga dia ujung-ujungnya tetap membantu jika sudah sangat terpaksa.
Bukan bermaksud durhaka, tetapi menurut Nana, memasak itu terlalu ribet untuk ukuran dia yang sama sekali tidak memiliki keinginan dan niat dari hati untuk memasak. Kalau cuma memasak mie instan, sosis goreng, kentang goreng, dan makanan-makanan instan lainnya, Nana masih mau, terlebih lagi kalau masakan itu diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Kadang-kadang dia juga memasak makanan instan lebih kok, supaya Mama bisa makan juga.
Harum semerbak yang dihasilkan oleh kuah woku belanga yang baru saja Mama tuangkan ke piring besar dari panci, sungguh berlomba-lomba masuk ke indra penciuman Nana. Mata Nana begitu berbinar seolah sedang melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia, tatkala pandangannya menangkap ikan yang terus-terusan disiram kuah berwarna kemerahan tersebut. Dengan secara berlebihan, Nana menjilat bibirnya dengan diikuti suara kecapan bibir seperti menyeruput sesuatu, ketika piring besar woku belanga tiba di hadapannya, membuat Mama yang mendapati ekspresi Nana itu hanya mendesis. "Ambil piring untuk disiapin di meja makan sana. Sekalian sama nasinya juga."
Nana lantas nyengir, beriringan dengan langkah kakinya yang melaju ke arah Mama tercinta. Kedua tangan Nana bergerak untuk melingkari tubuh Mama dengan erat, sekaligus dengan bibirnya yang membawakan berbondong-bondong kecupan syahdu ke pipi Mama, yang tentu saja membuat beliau berjengit dan berusaha keras mendorong kening Nana agar dapat segera menjauh dari pipinya secepat mungkin.
"Kamu lagi ngapain, sih?" gerutu Mama sebal setelah kepala Nana sudah bergerak menjauh.
"Meluk Mama."
"Itu juga Mama tau. Maksud Mama, kamu kenapa tiba-tiba begini?"
"Ini tuh obat penawar, biar Mama nggak ngomel-ngomel mulu ke aku." Nana nyengir, masih dengan tangannya yang melingkar di tubuh sang Mama. "Sini cium lagi."
Namun tanpa Nana bisa cegah, dirinya langsung terdorong jauh, bahkan hampir terjengkang, sebab tindak kejahatan dari Mamanya yang tidak dia sangka-sangka. Sepertinya Mama setidak suka itu dengan obat penawar yang Nana berikan. Kedua sudut bibir Nana kontan tertarik ke bawah, padahal Nana memberikan dengan ikhlas dan suka rela, tapi disia-siakan begitu saja.
"Ma ..., aku ini anak nemu di teras rumah ya? Dorongnya penuh kebencian banget." Nana nelangsa dengan cebikkan di bibirnya.
"Nggak nemu di teras juga, tapi di bawah pohon toge!" hardik Mama. "Cepet Natasha Pramudita, ambil piring dan nasinya. Nanti woku belanganya keburu dingin!"
"Galak banget ibu tiri," Nana mencibir. Namun tak urung, bagai kecepatan cahaya, Nana bergerak dengan gesit hanya untuk mencuri mengecup pipi Mama sekali lagi, lalu dia cepat-cepat ngacir ke rak piring sebelum Mama mengomel kembali ditemani tawa Nana yang pecah. Mama sudah menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkat Nana dari balik punggung gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
FantasiaKalau bukan karena Nana ingin mengambil digital pen-nya yang tertinggal di kelas malam itu, mungkin dirinya tidak akan terseret ke masalah yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi padanya. Seharusnya Nana tidak terlibat dalam masalah itu, namun...