Epilogue IㅡYoonMin

1.3K 140 1
                                    

Sejak dulu, bunga bermekaran menjadi salah satu kesukaan Jimin. Semerbak harum bunga menjadi salah satu pula kesukaannya.

Musim semi adalah musim paling indahㅡmenurutnya. Di mana bunga bermekaran dengan indah, udara hangat yang tidak terlalu dingin, banyak festival diadakan, dan jangan lupa bahwa musim semi merupakan musim yang sangat cocok untuk berpergian bersama keluarga.

Karena itu, Jimin ingin menikah di musim semi. Di bawah hamparan bunga sakura. Di sekeliling aroma mawar.

Jimin mendapatkannya. Berterimakasihlah pada sang kekasih yang sanggup merogoh kantung cukup tinggi untuk mewujudkan mimpi Jimin.

Jimin bahagia. Salah satu mimpinya terwujud.

Namun, Jimin tidak sebahagia itu.

Dari banyaknya tamu yang ia lihat, ia perhatikan, tak ada sosok yang ia inginkan.

Ayahnya.

Ayah kandungnya tidak datang.

Jimin harus kuat. Ia tidak boleh lemah. Hari ini hari bahagianya. Harus ia yang berada di sini, tidak boleh Ji. Jika Ji muncul dipastikan akan segera mengganti baju pengantin Jimin dengan baju formal.

"Eonniiii!" Suara yang sangat khas itu menyadarkan Jimin. Wanita manis itu tersenyum mendapati sesosok gadis manis lainnya tengah menatapnya dengan binar.

"Jungkookie~" mereka berdua berceloteh cukup lama hingga Yoongi harus memisahkan mereka karena masih banyak tamu yang harus mereka salami. Berterimakasihlah lagi pada Yoongi karena pria itu mengundang hampir seluruh teman bisnisnya.

"Oppa aku lelah. Kenapa tamumu banyak sekali," gerutu Jimin pelan saat tamu selanjutnya masih ada jarak dari mereka berdua. Yoongi meringis merasa bersalah. Ia terlalu bersemangat menyebar undangan pernikahannya sendiri dan tanpa sadar membagi kepada seluruh orang yang ada di kontak ponselnya. Bahkan teman bisnisnya yang berada di luar negeri juga hadir.

"Maaf, setelah ini kita bisa istirahat,"

Jimin terdiam. Sejujurnya ia tidak ingin hari bahagia ini berakhir tanpa melihat sosok yang sangat ingin ia lihat.

"Oppa, bisakahㅡ"

"Uri dal,"

Yoongi serta Jimin terkejut mendengar ucapan tersebut. Manik Jimin berbinar karena air mata yang sudah menggenang. Sosok yang ia pikirkan sedari tadi nyatanya kini berdiri tepat di depannya.

"Appa,"

Tuan Park tersenyum. Hal yang sangat dilakukan olehnya. Pria paruh baya itu berpakaian sangat rapih, "maaf Appa tidak bisa datang tepat waktu. Harusnya Appa yang mengantarkanmu ke altar,"

Jimin menggeleng. Air matanya tumpah, "Appa," hanya itu yang bisa ia katakan.

Sosok ayah dan anak itu hanya bisa menangis bersama. Menangisi kebodohan di masa lalu. Berharap di masa depan mereka akan hidup lebih baik.

Baik bersama atau pun di kehidupan masing-masing.

***

"Kookie, apa kabar?"

Jungkook mungkin mengikuti nalurinya. Nalurinya yang berkata ia harus segera pulang setelah ia bercengkrama dengan Jimin. Harusnya ia menuruti nalurinya agar ia tidak bertemu lagi dengan pria yang paling tidak ingin ia temui.

Jungkook berusaha menghindar, tetapi ia selalu kalah cepat. Taehyung selalu menghadangnya. Berusaha sekeras mungkin agar mereka berdua bisa bertatap muka.

"Kookie, please. Kali ini saja bicara denganku,"

Ya, itu juga hal yang ia inginkan. Siapa yang tidak ingin berbicara seperti biasa dengan kenalan lama? Tapi ia tak mampu. Bayangan masa lalu selalu menhantuinya. Kata maaf tidak cukup untuk menghapus ingatan ituㅡ

Tidak akan pernah bisa.

Yang bisa Jungkook lakukan hanya melampiaskan emosinya. Emosi yang ia pendam bertahun-tahun lalu. Ditambah dengan dorongan ingatan itu membuat emosinya meledak.

Hanya tangis emosi yang ia punya.

"Bisakah kau tidak lagi muncul di hadapanku?" Permintaan lirih yang Jungkook harap bisa pria di depannya lakukan. Jungkook lelah berdebat dengan akal sehatnya. Hati dan pikirannya selalu tidak pernah searah jika berhubungan dengan pria yang pernah ia cintai ini.

Mungkin, masih ia cintai.

"Jungkookㅡ

Haruskah aku mati agar dimaafkan?"

Tidak. Jangan. Adalah jawaban yang hati Jungkook berikan, tetapi kata, "ya, matilah Kim Taehyung-ssi," adalah jawaban yang otaknya berikan.

Taehyung menyerah. Ia tersenyum. Mungkin senyum terakhir yang ia berikan.

"Baik. Terima kasih atas segalanya, Jungkook-ah. Ijen annyeong,"

Melihat sang mantan kekasih yang kian menjauh membuat hatinya berdebar takut. Segala macam pikiran menyeruak karena satu kalimat yang sudah ia lontarkan tadi.

Tidak mungkin kau akan melakukannya kan, Tae? Kau tidak mungkin meninggalkanku, kan?

Entah. Hanya Tuhan dan waktu yang dapat menjawabnya.

**

I

End

**

I to II,

TBC

Now, You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang