Bab 1

9.7K 765 113
                                    

Let me remind you once more. This story contains mature content due to its plot, so for those who doesn't comfortable with depiction of sexual intercourse, violence, drugs, etc, you better back off.
Please read this wisely. Thank you.

Sincerely,
Arata

---

Emilia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Emilia

Embusan napasnya terdengar. Dia berada di sampingku, jemarinya membelai rambutku sementara senyum kecil terbentuk dari wajahnya. Aku bahkan tak butuh lampu untuk menyadari bahwa ia sedang tersenyum.

Sesaat aku seperti ditarik ke masa lalu, tepat pada waktu pertama kali aku melihatnya tersenyum, membuatku berpikir bahwa itu senyum termanis dan paling tulus yang pernah aku lihat setelah orang tuaku.

Senyum itu masih sama. Namun aku ragu jika tulus menjadi kata yang tepat untuk diasosiasikan pada senyum yang aku lihat saat ini. Aku mungkin harus meninjau apa arti tulus yang sebenarnya.

Semua yang ada pada laki-laki ini masih sama, namun di saat bersamaan mengingatkanku bahwa tidak ada lagi hal yang sama. Aku dan dia tidak lagi sama.

"Kau cantik," gumamnya pelan. Jarinya kini berlari ke bawah rahangku, mengikuti garisnya hingga ke leherku. Aku hanya memejamkan mata, mencoba menyerap arti dari kata-katanya. Kurasa artinya sudah kadaluarsa.

Setidaknya, bagiku begitu.

Aku baru saja ingin mengantarkan diri ke alam bawah sadar, ingin istirahat. Tapi dia tidak membiarkannya. Dia justru bergerak dan pindah ke atasku, membalik tubuhku. Tak butuh waktu lama aku merasa sesuatu masuk ke dalam tubuhku.

Aku meringis—bukan hanya karena sakit, tapi aku lelah. Aku tidak ingin melakukannya lagi padahal dia sudah menyiksaku dua jam yang lalu dengan perlakuan yang sama.

"Jungkook," panggilku, tapi yang ada dia justru menggerakan bibir ke leherku.

"Hari ini kau libur, kan? Jadi biar aku melakukannya," jawab Jungkook. Tak berselang lama dia sudah menggerakkan tubuh, menghancurkanku dengan cara yang menghanyutkan.

"Aku mencintaimu, Em," bisiknya selagi tubuhnya masih bergerak, kemudian desisan yang keluar dari mulutnya.

Aku tahu dia baik dan tulus, sangat. Aku tahu dari cara bicaranya. Tapi seharusnya tidak begini. Ketulusannya bukanlah sesuatu yang aku harapkan.

Seharusnya bukan ketulusan yang begini.

Aku memejamkan mata, memaksakan diri untuk diam sementara suara-suara dalam kepalaku membesar. Bibirnya bermain semakin liar, dan aku tahu ada sesuatu yang dia ingin aku katakan. Sebuah balasan.

"Aku mencintaimu juga, Kook."

"Aku tahu."

Ya, dia pasti tahu. Dia tahu aku mencintainya.

MILE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang