Bab 4.

5.1K 542 47
                                    

Uhuk. Warning. Lagi. Siap-siap. Seqyan.
-

Jungkook

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jungkook

"Mereka mengancam."

"Kelihatannya yang sekarang lebih serius."

"Kau harus berhati-hati, Kim Jungkook."

Begitu kalimat terakhir yang terdengar sebelum aku mematikan sambungan telepon. Ya, aku yang mematikannya. Karena aku muak. Dari laporannya itu berarti mereka benar-benar banyak minta sementara menutupi saku mereka yang sebentar lagi akan dibobol kemiskinan.

Atau memang sudah. Mereka hanya tidak ingin aku tahu.

Tapi tentu saja, aku tahu. Aku selalu tahu. Aku bukan pemilik panti asuhan yang membagikan daganganku secara cuma-cuma. Mereka pikir ini bisnis atau sumbangan?

Selagi aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, aku melihat Emilia bersandar di dinding dekat kamar mandi, tangannya bersedekap sementara dia menatapku dengan tubuh yang berbalut bathrobe.

"Oh, Em. Kau di situ?" tanyaku. Aku tersenyum sementara melangkah mendekat. "Kau baru selesai mandi?"

"Um, ya." Emilia mengangguk sementara aku mengelus pipinya. Aroma sabun yang biasanya kugunakan sekarang menempel pada kulitnya.

"Aku tidak sadar kau menunggu di depan pintu kamar mandi."

"Baru beberapa detik sih," dia menjawab dengan ringan, "karena kau sibuk bertelepon makanya aku diam di sini. Kupikir akan lama."

"Tidak. Mereka membuatku muak." Kutautkan jemarinya dengan tanganku, mengangkatnya dan mengecup punggung tangannya. "Kalau aku tahu kau di sini, aku sudah mematikan teleponnya sejak tadi."

Emilia hanya diam. Dia menatapku sementara aku masih memberikan kecupan-kecupan lain di punggung tangannya, naik ke lengan, kemudian ke ceruk lehernya. Bisa kurasakan jemarinya menggenggam tanganku sedikit lebih kuat, namun lehernya sedikit memiring, memberiku akses lebih untuk mencecap permukaan kulitnya.

Sengaja kutinggalkan sedkit bekas di sana, memberi tanda, hingga bibirku naik untuk mencium rahang, hidung, lalu sampai pada bibirnya, destinasi terakhir tiap kali kami berciuman. Kecuali kalau di atas ranjang, aku selalu destinasi spesial.

Aku menciumnya, ringan, semakin berat, dan berakhir pada lumatan. Aku suka bagaimana lidah bagian bawah Emilia yang berisi, bagaimana lidahnya menyinggung lidahku ketika aku mencoba mencecapnya. Aku suka semua yang ada padanya.

Aku menyukai Emilia. Hanya aku yang bisa.

Aku menggigit bibir bagian bawahnya dan melepasnya dengan perlahan, kemudian membiarkan kening kami menempel.

"Mereka bodoh karena membuangmu, Em. Keluargamu itu bodoh karena mereka pikir kau bukan siapa-siapa," kataku. Kembali kukecup bibirnya. "Dan hanya aku yang peduli dan sadar bahwa kau itu emas, Em. Mereka terlalu buta untuk menyadarinya."

MILE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang