Pelajaran Luka

42 3 1
                                    

2 tahun berlalu sejak saat itu. Aku memang belum bisa benar-benar membuka hatiku untuk orang lain, belum bisa mempercayai ketulusan orang seutuhnya tapi adalah dia yang tidak pernah berhenti berusaha untuk membuktikan dirinya.

Mas Dira namanya. Sudah 1 tahun ini kita kenal dan sejak pertama kali bertemu sampai sekarang pun dia tidak pernah berhenti berusaha mendapatkan kepercayaanku dan terlebih untuk membuka kembali hatiku yang sudah lama tertutup. Aku mulai merasakan diriku yang dingin menjadi hangat bila bersama mas Dira, pintu hati yang kututup rapat perlahan mulai terbuka untuk menyambut cinta dan kasih sayang lelaki itu.

Aku sudah mulai bangkit lagi, tidak lagi terpuruk di pojok kesedihan. Hatiku yang luka mulai sembuh dan kebahagiaan mulai merambat di dalam diriku.

Namun sejauh apapun kita melangkah kadang masa lalu masih mengejar kita, menagih penyelesaian hutang yang belum selesai di waktu lampau; menagih pengampunan yang belum diberikan. Di hari penghujan itu masa laluku menghampiriku.

Di hari itu hujan turun dengan deras sejak pagi. Orang lain mungkin sedang asik tertidur apalagi saat itu sedang weekend tapi aku sudah siap-siap untuk memulai hariku apalagi hari itu adalah hari ulang tahun mas Dira dan aku sudah mengorganisir pesta kejutan untuknya disebuah kafe di kawasan SCBD. Banyak yang harus aku persiapkan hari itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore ketika aku dan Ana merampungkan persiapan pesta mas Dira, yang tertinggal hanyalah kue ulang tahun yang harus di pick up di sebuah toko roti yang tidak jauh dari cafe.

Tanpa basa basi lagi aku langsung menuju toko roti tersebut dan siapa yang kutemui disana? Sarah! Adik mas Choki sedang memesan kue basah dalam jumlah yang banyak. Awalnya aku salah tingkah dan kepikiran untuk lari saja dan kembali apabila dia sudah pergi tapi memang sudah takdir, Sarah melihatku lebih dahulu dan menyapaku.

"Apa kabar lu, Na?" mulai Sarah.

"Baik, Sar. Kamu pesan kuenya banyak amat, mau ada hajatan ya?" tanyaku.

Awalnya aku ingin bertanya kabar mas Choki tapi kuurungkan niatku, takut aku belum siap mendengarkan jawabannya.

"Ini untuk ibadah pemakaman,"

"Siapa yang meninggal?" tanyaku dengan penuh heran. Apa mama Ida - mamanya mas Choki -  sudah meninggal? Ya Tuhan aku belum sempat bersilahturahmi lagi dengan mama Ida.

"Kak Lina, Na. Dia meninggal kemarin,"

Rasanya kepalaku seperti batok kelapa yang terseret pusaran air. Berputar-putar dan jantungku berdetak begitu kencang. Tidak pernah aku sekaget ini menerima sebuah berita.

"Ya Tuhan! Meninggal kenapa, Sar?" tanyaku sambil berpegangan di meja kasir takut tumbang kesadaranku.

"Sakit," Sarah meraih tanganku dan membantuku untuk menenangkan diri.
"Lu gak apa-apa, Na? Mau gue antar pulang, gak?"

"Gak usah, makasih, Sar. Aku masih ada acara disini. Aku gak apa-apa kok," aku menarik nafas panjang.

"Na, nomor lu belum ganti, kan? Nanti gue telepon, ya?"

Aku hanya bisa mengangguk sambil melihat Sarah yang sudah buru-buru keluar dari toko roti.

Oh takdir! Jalan cerita yang berliku-liku dan kita bukanlah penulisnya jadi kita hanya bisa mengikuti alur cerita yang sudah dituliskan.

Beberapa hari kemudian aku ditelepon oleh Sarah dan dia mengajak ketemuan di SCBD. Jujur saja aku tidak mau datang tapi disaat yang bersamaan aku juga ingin tahu apa yang terjadi dengan Lina dan mas Choki. Akhirnya kuiyakan ajakan ketemuan Sarah.

Entah apa aku siap atau belum untuk mendengarkan cerita Sarah. Yang kutahu pasti disaat mendengarkan penuturan Sarah tubuhku bergetar hebat dan air mata membanjiri pipiku. Sesak rasanya nafas ini.

Pelajaran LukaWhere stories live. Discover now