Prolog

82 7 2
                                    


"Hai, Paman Billy. Bagaimana tidurmu? Nyanyek? Apakah bibi May memasakkan sarapan untukku?" sapa Eliza pada Billy, pria tua yang akan pensiun beberapa bulan lagi namun sejak dua tahun lalu dia dipindahkan ke bagian bagian pengecekan barang di depan pintu masuk kantor kerja mereka.

"Hai, Berry. Tidurku sangat nyenyak, karena May selalu memelukku sepanjang malam. Ah, malam yang indah." Billy tersenyum hangat sambil mengecek tas Eliza. Angka masih terlalu pagi, sehingga Billy masih bisa meladeni keceriaan Eliza. "Tanpa dia minta pun aku akan memberikannya. Kau tau bagaimana May jika aku tidak melakukan itu." Billy dan Eliza sama-sama tertawa.

Berry adalah panggilan sayang Billy untuk Eliza yang sangat menyukai stroberry di masa kecilnya.

"Ya, aku tidak bisa membayangkan itu. Oh, ya. Harry akan memulai kelasnya minggu depan. Apakah kau dan Bibi May mau menemaniku mengantarkan Harry ke asrama?"

Billy dan May sudah menganggap Eliza dan juga Harry—adik Eliza—seperti anak mereka sendiri. Karena Thomas sang anak yang selalu bersikap bajingan karena tidak pernah menengok sang orang tua. Bahkan Billy yakin jika Thomas mungkin sudah lupa pada mereka.

"Pasti, Berry. Kami sudah menunggu kesempatan itu. Dan ini bekalmu. Pergilah sebelum Mr. Drew mengomel."

Eliza mencium pipi Billy kemudian segera berlalu dengan membawa kotak bekal kesukaannya. Ia bahkan sudah tidak sabar membuka kotak dari bibi May-nya.

##

"El," suara isakan May menyambut Eliza di depan rumah mereka yang penuh dengan penjagaan polisi.

Eliza segera berhampur dalam pelukan May. Ia menangis dengan keras. Meluapkan segala sesak yang ada di dadanya.

"Akan kubunuh mereka semua," gumam Eliza dengan nada rendah.

"Stttt ... kau harus kuat, Nak. Masih ada kami. Kau tidak sendiri," ujar May merapatkan pelukannya.

"Kau harus menyelidiki semuanya, El. Buktikan jika Harry bukan penjahat. Kau bisa tinggal di rumah kami. Ayo, Nak. Kita harus menyiapkan pemakamannya."

Hancur. Seperti bom yang meledak, menghancurkan tubuhnya hingga berkeping-keping. Kakinya terasa sakit menapaki bumi. Hatinya bahkan menjerit sakit.

Eliza yakin, adiknya hanya korban. Harry bukan remaja nakal. Dia bahkan tidak pernah tau seperti apa rasa alkohol apalagi narkoba. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk di depan komputer.

Harry tewas dalam penyergapan gembong narkoba, mendapat tuduhan jika adiknya adalah bandar besar yang menjadi incaran.

Eliza tahu siapa sumber informasi serta dalang yang membuat hidupnya hancur. Tinggal menunggu bukti. Eliza akan membuat orang yang berani bermain dengannya itu mendapatkan hukuman yang paling mengerikan.

Kau salah memilih lawan.

👁👁
31-03-2020

This EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang