BAGIAN 5

530 20 0
                                    

Rangga dan Pandan Wangi terus memacu kudanya dengan kecepatan yang tinggi, keluar dari kota Kadipaten Kuring. Mereka baru berhenti menggebah kudanya setelah sampai di tepi hutan yang ada di luar perbatasan kota sebelah utara. Mereka langsung berlompatan turun dari punggung kudanya masing-masing. Kemudian kuda-kuda itu dibiarkan melepas dahaga di pinggiran sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Sementara itu senja semakin merayap turun. Dan, keremangan mulai menyelimuti mayapada ini.
"Siapa mereka itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil mengempaskan dirinya di bawah pohon yang berumput cukup tebal.
"Entahlah, aku tidak kenal dengan mereka," sahut Rangga sambil mengangkat bahunya.
Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri menyandarkan punggungnya di pohon yang tidak seberapa jauh dari Pandan Wangi. Pandangannya tertuju pada dua ekor kuda yang sedang melepas dahaga di pinggiran sungai kecil di tepi hutan ini. Sedangkan Pandan Wangi mengamati wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun sudah sering pergi mengembara bersama-sama, tidak pernah ada rasa bosan baginya memandangi wajah tampan itu. Dan, Pandan Wangi selalu merasa senang bila dapat berdekatan dengan Rangga dan memandangi wajah lelaki gagah itu.
"Tapi, kenapa mereka mengenalmu, dan langsung menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, masih belum mengerti tentang peristiwa yang dialami Rangga barusan.
"Apa kau tidak dengar apa yang mereka katakan, Pandan...? Mereka ingin membuktikan bahwa aku benar-benar Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku rasa, mereka menyerangku tidak dengan sungguh-sungguh. Tapi ingin membuktikan diriku yang sebenarnya saja."
"Hm..., apa itu mungkin, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak menggumam, seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
"Entahlah. Terlalu dini untuk bisa menduganya. Sikap mereka aneh sekali. Aku yakin, mereka tidak kenal denganku secara langsung. Dan mereka tadi hanya ingin membuktikan tentang diriku yang sesungguhnya. Hm..., ada apa sebenarnya ini...?"
"Kakang...."
Rangga berpaling menatap gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Dan gadis itu langsung beranjak berdiri, melangkah menghampirinya. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti, lalu memeluk lengan yang kekar dan berotot kuat itu. Rangga membiarkan Pandan Wangi menunjukkan kemanjaannya. Dia kembali mengarahkan pandangannya pada kuda-kuda mereka yang kini sedang merumput dengan nikmat sekali di tepian sungai kecil itu. Rerumputan di sana sangat subur sehingga seperti tidak akan pernah habis dilahap kuda sebanyak apa pun.
"Kau ingat ketika kita makan di kedai tadi...?" ujar Pandan Wangi bernada bertanya.
"Maksudmu...?" Rangga balik bertanya tidak mengerti.
"Dua orang yang menyerangmu tadi rasanya juga berada di kedai itu. Tapi aku tidak begitu memperhatikan, karena masih ada orang lain lagi di sana," kata Pandan Wangi, agak ragu-ragu.
"Kau menduga mereka bukan penduduk Kadipaten Kuring ini, Pandan?" tanya Rangga menebak.
"Mungkin. Dan tampaknya mereka para pengembara, Kakang. Dari pakaian dan senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka dari kalangan persilatan. Tapi..., apa maksudnya mereka menyerangmu, Kakang..?"
Rangga tidak menyahut. Dia diam saja sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Sementara itu matahari sudah benar-benar tenggelam di balik belahan bumi bagian barat. Namun, beruntung sekali, saat ini bulan bersinar penuh dan langit tampak bercahaya oleh gemerlapnya bintang-bintang yang bertaburan di angkasa bagai mutiara. Malam tampak begitu indahnya.
Rangga melepaskan pelukan Pandan Wangi pada tangannya. Kemudian dia mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Dengan ranting-ranting kering itu, dia membuat api unggun. Pandan Wangi langsung duduk di dekat api unggun yang dibuat Rangga. Udara di tepian hutan ini sudah terasa dingin. meskipun malam belum begitu lama jatuh menyelimuti permukaan bumi ini.
"Tolooong...?!"
"Heh...?!"
"Apa itu...?"
Kedua pendekar muda itu terkejut mendengar teriakan itu. Suara itu terdengar sangat jelas, tampaknya tak jauh dari tempat mereka berada saat ini. Bergegas kedua pendekar muda dari Karang Setra bangkit berdiri. Sebentar mereka memasang telinga, mencoba mencari sumber teriakan tadi.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat begitu telinganya mendengar suara-suara yang datang dari arah timur. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan hampir sempurna, si Kipas Maut bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
"Hey...!" Rangga membentak keras. Dia melihat, sekitar sepuluh orang berpakaian seragam prajurit tengah menyeret seorang laki-laki muda yang berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti gembel. Bentakan Rangga yang begitu keras membuat para prajurit itu terkejut setengah mati. Mereka langsung berhenti. Sambil mencabut pedang masing-masing yang tergantung di pinggang. Sedangkan dua di antara para prajurit itu masih memegangi tambang yang mengikat kedua tangan pemuda pengemis.
"Apa yang kalian lakukan ini, heh...?" tanya Rangga agak mendelik, melihat para prajurit itu menyiksa seorang pemuda pengemis.
"Siapa kau...? Jangan ikut campur urusan ini!" bentak salah seorang prajurit dengan kasar.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri, "Kenapa kalian menyiksa pengemis itu?"
"Ini bukan urusanmu, Kisanak! Pergi saja kau dari sini!" bentak prajurit itu semakin kasar.
Pada saat itu Pandan Wangi sudah sampai. Dia juga terkejut melihat seorang pengemis menggeletak di tanah dengan kedua tangan menyatu terikat tambang. Pakaiannya yang sudah kumal dan compang-camping tampak semakin rusak karena terlalu jauh terseret Pengemis itu merintih, menahan perih pada sekujur tubuhnya yang lecet akibat terseret tadi.
"Lepaskan dia. Kalian tidak boleh menyiksa orang yang lemah," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha...!"
Para prajurit itu malah tertawa terbahak-bahak. Dan empat di antaranya langsung maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sikap yang pongah dan angkuh sekali. Sedang Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri tegak dengan sinar mata tajam menusuk.
"Enyah dari sini. Atau kau sudah bosan hidup, heh...!" desis salah seorang prajurit itu dingin.
"Sebaiknya, justru kalian yang harus pergi dari sini!" selak Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"He...! Bocah Ayu, kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, heh...? Kami para prajurit pilihan Kadipaten Kuring. Tak ada seorang pun yang bisa memerintah kami selain Gusti Adipati Paturakan!"
"Hm...?!"
Rangga dan Pandan Wangi tampak terkejut mendengar nama Adipati Paturakan disebut. Sedangkan keempat orang prajurit tadi makin mendekat saja. Pedang mereka terhunus di tangan masing-masing.
"He he he.... Kalian pasti terkejut mendengar nama Gusti Adipati Paturakan. Sebaiknya kalian cepat enyah dari sini, sebelum pedang-pedang kami memenggal leher kalian," kata prajurit itu lagi, yang makin pongah tingkahnya.
Namun, secara tak terduga Pandan Wangi melompat kilat ke arah pengemis muda yang masih merintih dan menggeletak di tanah itu. Begitu cepatnya gerakan si Kipas Maut, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadarinya. Dan, tiba-tiba Pandan Wangi sudah mengeluarkan kipas baja putihnya yang sakti. Langsung dikebutkannya kipas itu ke tambang yang mengikat ke dua tangan si pengemis muda.
Tas!
"Hup...!"
Secepat kilat pula, Pandan Wangi langsung menyambar pengemis muda itu. Dan, tiba-tiba ia sudah berada sekitar sepuluh langkah di belakang Rangga, sambil menyangga pengemis muda yang sudah terbebas dari kekangan para prajurit itu.
"Setan keparat..!" geram salah seorang prajurit yang tampaknya menjadi pemimpin mereka.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum melihat tindakan Pandan Wangi yang begitu cepat itu. Senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti ini semakin lebar saat Pandan Wangi memapah pengemis muda itu ke tempat yang cukup aman.
"Bunuh mereka semua...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Begitu keluar perintah yang keras menggelegar, sepuluh orang berseragam prajurit itu langsung berhamburan menyerang Rangga.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung menyongsong serangan para prajurit itu. Gerakannya bagai kilat. Beberapa pukulan keras yang disertai serta tenaga dalam dilontarkan cepat sekali, sehingga para prajurit itu tak sempat lagi berkelit. Jeritan-jeritan panjang dan keluh kesakitan terdengar saling susul. Terlihat segera lima prajurit bergelimpangan terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti itu. Hanya sekali gebrakan saja, Rangga sudah mampu merobohkan lima orang prajurit.
Belum lagi lima prajurit lainnya menyadari apa yang telah terjadi, Rangga kembali melepaskan pukulan beruntun yang luar biasa cepatnya. Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul. Dan lagi-lagi terlihat para prajurit jatuh bergelimpangan sambil mengaduh kesakitan. Sehingga, tak ada lagi seorang prajurit pun yang bisa berdiri. Dan, entah bagaimana caranya, Rangga sudah merampas semua pedang para prajurit yang kini bergelimpangan sambil merintih kesakitan.
"Cepat kalian pergi dari sini. Jangan sampai aku lepaskan nyawa kalian!" ancam Rangga dingin menggetarkan.
Cring!
Sekali lempar saja, sepuluh bilah pedang yang berada di tangannya langsung menancap berbaris di dekat para prajurit yang berusaha bangkit sambil terus menyeringai kesakitan itu. Dan, begitu bisa berdiri tanpa berkata apa-apa lagi mereka langsung berlari berserabutan, tanpa memikirkan lagi pedangnya yang tertancap berbaris seperti pagar di tanah. Rangga tersenyum saja melihat tingkah para prajurit itu.
Si Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang tengah merawat pengemis muda itu. Pandan Wangi langsung menyingkir, membiarkan Rangga menggantikan dirinya memeriksa luka-luka pengemis muda itu.
"Hanya luka luar," ujar Rangga setelah memeriksa luka-luka itu.
"Terima kasih, Kisanak...," ucap pengemis itu agak lirih.
"Siapa namamu? Dan kenapa kau sampai disiksa para prajurit itu?" tanya Rangga lembut sekali.
"Namaku Wadira. Mereka mau membawaku ke puncak Gunung Tambur," sahut pengemis muda itu, yang masih meringis menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang luka-luka.
"Ke Gunung Tambur...? Untuk apa?" tanya Pandan Wangi menyetak.
"Sudah banyak yang dibawa mereka ke sana. Terutama kami, para pengemis dan gelandangan yang ada di Kadipaten Kuring ini. Dan tak ada seorang pun yang kembali kalau sudah dibawa ke sana," kata pengemis muda yang mengaku bernama Wadira itu.
"Aneh...," desah Pandan Wangi menggumam perlahan.
"Sejak si Tangan Api menguasai Kadipaten Kuring, semuanya langsung berubah. Dan dia sekarang menjadi Adipati di sini. Dia menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membawanya ke Gunung Tambur. Bahkan Gusti Adipati Bayangkala dan putranya, Raden Pangrona, juga dibawa ke sana. Anak angkat pemimpin kami, Jaka Gembel, juga dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Sampai sekarang ini tidak ada kabarnya lagi. Sedangkan putri Gusti Adipati Bayangkala, Ayu Dewi Winarti, sekarang berada dalam tawanan si Tangan Api itu," tanpa diminta lagi Wadira menjelaskan keadaan yang sedang terjadi di Kadipaten Kuring ini.
Rangga dan Pandan Wangi berpandangan. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa sudah terjadi perubahan yang begitu besar di Kadipaten Kuring ini. Siang tadi, sama sekali mereka tidak melihat adanya perubahan. Hanya saja, mereka memang tidak lagi melihat pengemis dan gelandangan berkeliaran di jalan-jalan seperti biasanya. Kadipataen Kuring memang dikenal sebagai kota pengemis, karena begitu banyaknya pengemis dan gelandangan hidup di kota kadipaten ini. Sebelumnya mereka sama sekali tidak memperhatikan hilangnya para pengemis itu.
Kini mereka baru tahu, Adipati Paturakan yang dijuluki si Tangan Api ternyata menangkapi para pengemis dan gelandangan. Mereka lalu dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Kota itu sekarang benar-benar terbebas dari kaum pengemis dan gelandangan. Memang tindakan pembersihan yang bagus, tapi Rangga melihat adanya sesuatu yang tidak wajar di balik tindakan ini. Di samping itu, dia tidak pernah membeda-bedakan manusia, baik itu para pembesar dan saudagar kaya, rakyat biasa, maupun para gelandangan. Jiwa kependekaran Rangga langsung tersentuh mendengar kisah yang dituturkan Wadira barusan.
"Wadira, ceritakanlah apa yang teriadi sebenarnya di Kadipaten Kuring ini," pinta Rangga, serius.
"Menyedihkan sekali...," sahut Wadira mendesah panjang.
"Menyedihkan...? Apa maksudmu, Wadira?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Sulit untuk dikatakan. Sebaiknya kalian tanyakan saja hal ini pada Ki Gembel Bungkuk," sahut Wadira seraya bangkit berdiri.
Wadira masih meringis saat bergerak berdiri. Rasa perih masih menyengat seluruh tubuhnya yang penuh oleh luka gores. Rangga dan Pandan Wangi pun ikut berdiri.
"Siapa itu Ki Gembel Bungkuk?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Ayah angkat semua kaum gembel dan pengemis," sahut Wadira. "Dia tahu semua yang terjadi di Kadipaten Kuring ini. Bahkan dia yang menjaga keselamatan Ayu Dewi Winarti di istana kadipaten."
"Tampaknya ini masalah yang serius sekali, Kakang. Tidak baik jika sebuah kadipaten dipimpin oleh orang yang salah," kata Pandan Wangi. "Akibatnya akan buruk nanti bagi seluruh rakyat Kadipaten itu sendiri. "
"Tapi Gusti Adrpati Bayangkala juga tidak baik dalam menjalankan pemerintahannya," selak Wadira.
"Maksudmu...?" tanya Rangga.
"Dia memerintah dengan tangan besi. Apa saja yang diinginkannya harus terlaksana, bagaimanapun sulitnya. Dia memang tak pernah memusuhi kaum pengemis dan gelandangan. Bahkan dia memberi tempat pada kaum kami di Kadipaten ini. Hanya saja, dia...," Wadira tidak melanjutkan kata-katanya.
"Hanya saja apa, Wadira?" desak Rangga ingin tahu.
"Dia selalu memperkaya diri. Dia tidak pernah mau memperhatikan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan dia memaksa rakyat untuk menyerahkan berbagai macam upeti yang sangat tinggi. Maka, ketika si Tangan Api berhasil menggulingkannya, seluruh rakyat jadi gembira. Terlebih lagi, si Tangan Api berjanji akan mengubah tata kehidupan seluruh rakyat di Kadipaten Kuring ini. Tapi itu semua hanya janji kosong. Buktinya dia sudah menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membuangnya ke Puncak Gunung Tambur. Entah bagaimana nasib mereka yang sudah dibawa ke sana. Aku yakin, kalau tidak ada lagi pengemis dan gelandangan, rakyat pun akan mendapat giliran. Karena...," kembali Wadira tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa, Wadira?" pinta Pandan Wangi ingin tahu.
"Dia... si Tangan Api bersekutu dengan perempuan iblis penguasa puncak Gunung Tambur," sahut Wadira dengan suara yang berbisik perlahan, seakan dia takut ada orang lain yang mendengarkannya.
"Siapa lagi perempuan Iblis itu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku... aku tidak bisa mengatakannya. Sebaiknya kalian tanyakan saja pada Ki Gembel Bungkuk. Dia tahu lebih banyak dari aku sendiri," sahut Wadira.
Pandan Wangi menatap pada Rangga yang juga tengah memandangnya. Beberapa saat mereka terdiam. Kemudian kedua pendekar itu sama-sama mengangkat bahu. Dari sedikit keterangan yang keluar dari mulut Wadira, mereka sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Kadipaten Kuring saat ini sedang berada di ambang pintu kehancuran. Kekuasaannya dipegang oleh orang yang bersekutu dengan iblis.
"Baiklah, ayo kita pergi sekarang menemui ayah angkatmu," ajak Rangga.
"Ayo, aku antarkan," sambut Wadira.

***

72. Pendekar Rajawali Sakti : Korban Ratu PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang