Tidak lama kemudian, sampailah Rangga, Pandan Wangi, dan Wadira pada sebuah pondok kecil di tengah-tengah sebuah ladang perkebunan. Si Gembel Bungkuk berada di pondok itu. Kelihatannya dia memang sedang menunggu kedatangan mereka.
Rangga merasa seperti bermimpi. Dia menatap tak berkedip pada laki-laki tua bertubuh bungkuk itu. Wajah lelaki itu begitu buruk dan kulitnya hitam seperti arang. Rangga teringat pada sahabatnya yang juga memiliki tubuh seperti si Gembel Bungkuk ini. Sahabatnya itu pun biasa dipanggil si Bungkuk, karena tubuhnya juga bungkuk, berpunuk bagai onta pada punggungnya.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Rangga?" tegur si Gembel Bungkuk.
"Oh...! Kau tahu namaku...?" Rangga terperanjat.
Dia sama sekali belum memperkenalkan namanya tadi. Dan, mereka baru sekali ini bertemu. Bahkan Wadira pun belum sempat memperkenalkan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ini pada si Gembel Bungkuk itu. Tapi, laki-laki tua berbaju hitam yang buruk rupa dan bertubuh bungkuk itu sudah mengetahui nama Rangga.
"Tentu saja aku tahu siapa kau, Rangga. Tidak ada orang lain di dunia ini yang sepertimu," sahut si Gembel Bungkuk.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Rangga penasaran.
"Kau tentu tidak lupa dengan si Bungkuk, kan...?"
Rangga mengangguk. Rasa herannya semakin besar menyelimuti hatinya. Berbagai macam dugaan langsung bergayut di dalam benaknya.
"Aku dan dia bersaudara. Dia telah banyak bercerita tentang dirimu. Makanya aku langsung mengenalmu begitu melihat kau datang, Rangga," kata si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan nada suara yang tenang sekali.
"Oh...." Rangga mendesah panjang. Apa yang terlintas di dalam benaknya tadi ternyata memang benar. Dia sudah menduga kalau antara si Bungkuk dan si Gembel Bungkuk ini mempunyai hubungan yang amat dekat. Mereka memang bersaudara. Itu sebabnya mereka mirip sekali, sehingga Rangga sempat mengira bahwa laki-laki tua ini adalah si Bungkuk, sahabatnya yang sudah lama tidak dilihatnya lagi. Rangga dan si Bungkuk memang sama-sama pengembara yang tidak pernah diketahui tempat tinggal dan tujuannya.
"Apa ada sesuatu yang sangat penting hendak kau sampaikan sehingga kau mau menemui manusia hina sepertiku ini, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk.
"Sebenanya tidak. Kebetulan saja aku bertemu dengan Wadira. Dan sama sekali aku tidak tahu kalau di sini ada saudara Paman Bungkuk," sahut Rangga.
"Benar, Ki," selak Wadira.
Tanpa diminta lagi, Wadira pun langsung menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya. Cerita itu di awali dengan ditangkapnya dia oleh para prajurit Kadipaten dan di akhiri dengan diselamatkannya dia oleh Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Semuanya diceritakan Wadira dengan jelas, tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan.
"Hm..., jadi mereka masih juga mengejar anak-anakku...," gumam si Gembel Bungkuk setelah Wadira menyelesaikan kisahnya.
Kepalanya terangguk beberapa kali. Sebentar dia menatap pada Wadira, salah seorang anak angkatnya. Semua Gembel dan pengemis di Kadipaten Kuring ini memang dianggap sebagai anak angkatnya. Semua kaum pengemis juga menganggap laki-laki tua bertubuh bungkuk ini sebagai pemimpinnya. Bahkan si Gembel Bungkuk ini juga memberikan pelajaran berbagai ilmu olah kanuragan, agar para gelandangan bisa membela diri bila mendapat perlakuan sewenang-wenang dari orang lain.
Kelompok pengemis yang dipimpin oleh si Gembel Bungkuk ini sudah sangat terkenal. Ketenarannya tidak hanya terbatas di Kadipaten Kuring, tetapi juga sampai ke luar wilayah Kadipaten Kuring turut menggabungkan diri ke dalam kelompok ini untuk meminta perlindungan.
"Maaf, Ki... Sebenarnya apa yang terjadi di Kadipaten Kuring ini?" tanya Rangga.
"Apa Wadira tidak mengatakannya padamu, Rangga?" si Gembel Bungkuk itu malah balik bertanya.
"Sudah, tapi katanya bisa lebih jelas lagi kalau kau sendiri yang mengatakannya."
"Kalau kau sudah tahu, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya si Gembel Bungkuk lagi.
"Aku seorang pendekar, Ki. Aku tidak bisa melihat ada penindasan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku. Dan aku tidak akan lari dari segala keangkaramurkaan," sahut Rangga tegas.
"Hm...!"
Si Gembel Bungkuk mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah begitu banyak mendengar sepak terjang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan, dia percaya bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mampu mengatasi semua persoalan yang sedang dihadapi oleh seluruh rakyat Kadipaten Kuring ini. Persoalan yang sangat berat itu tidak mungkin bisa dihadapi Gembel Bungkuk seorang diri. Terlebih lagi, sudah begitu banyak anak angkatnya yang menghilang tanpa ketahuan lagi nasibnya. Bahkan anak angkat kesayangannya pun ikut menghilang di puncak Gunung Tambur. Hingga kini tidak ada lagi beritanya.
"Kau tentu sudah tahu kalau Kadipaten Kuring ini dikuasai oleh seseorang yang memiliki hati iblis. Bahkan dia bersekutu dengan perempuan iblis yang menguasai puncak Gunung Tambur. Kau tentu sudah bisa meraba, apa yang akan terjadi jika hal ini terus berlangsung," kata si Gembel Bungkuk, perlahan sekali.
"Aku bisa mengerti, Ki," sahut Rangga.
"Ia bukan orang sembarangan, Rangga. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri belum cukup mampu menandinginya...," kata si Gembel Bungkuk, terdengar seperti mengeluh. "Bahkan untuk menghadapi dua orang pengikutnya saja, aku tidak bakal mampu."
"Siapa saja mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Kau pasti sudah tahu. Penguasa berhati iblis itu bernama Paturakan, yang dijuluki si Tangan Api. Sedangkan dua orang pengikutnya adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja," sahut si Gembel Bungkuk menjelaskan.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan setelah mendengar nama kedua orang pengikut setia si Tangan Api itu. Mereka langsung teringat pada dua orang laki-laki separuh baya yang mencegat dan langsung menyerang Rangga tanpa diketahui maksudnya. Dari semua penjelasan yang mereka dengar, Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa mengetahui bahwa kedua orang yang mencegat itu adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Tongkat Baja, pengikut setia si Tangan Api. "Ki, apakah dua orang itu memakai senjata rantai dan tongkat berwarna merah...?" tanya Pandan Wangi untuk memastikan dugaannya.
"Benar."
"Tidak salah lagi...," desis Pandan Wangi.
"Ada apa...? Apa kalian pernah bertemu dengan mereka?" tanya si Gembel Bungkuk, sambil memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
"Terus terang, Ki. Sampai saat ini pun aku belum bisa mengerti. Mereka tiba-tiba saja menghadang lalu menyerang tanpa alasan yang pasti," kata Rangga mencoba menjelaskan.
"Mereka sudah bertemu denganmu, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk ingin memastikan.
"Benar, Ki," Pandan Wangi yang menyahuti.
"Oh...," desah si Gembel Bungkuk panjang.
"Tapi tampaknya mereka tidak begitu mengenal Kakang Rangga, Ki. Bahkan mereka sempat mencoba meyakinkan bahwa Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti yang sesungguhnya," kata Pandan Wangi lagi.
"Kedatanganmu ke kadipaten ini akan menguntungkan mereka, Rangga," ujar si Gembel Bungkuk agak mendesah perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki..?" ujar Rangga meminta penjelasan.
"Sesungguhnya mereka memang sedang mencarimu, Rangga. Bahkan mereka sudah mengirim utusan ke Istana Karang Setra. Mereka tahu kalau kau bukan hanya seorang pendekar kelana, tapi juga seorang raja di Karang Setra. Tentu kedatanganmu ke sini akan membuat mereka gembira, Rangga. Itu berarti mereka tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Dan itu juga berarti awal kehancuran bagi...," si Gembel Bungkuk tidak meneruskan.
Jelas sekali terlihat, raut wajah laki-laki tua itu berubah menjadi mendung, berselimut kabut tebal. Perubahan itu cepat diketahui Rangga dan Pandan Wangi, yang sejak tadi memang selalu memperhatikan laki-laki tua bermuka buruk dan bertubuh bungkuk ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tertegun tidak mengerti. Mereka hanya bisa bertanya tanya di dalam hati. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap terdiam, dengan kepala tertunduk dan wajah tetap mendung terselimut kabut.
"Ada apa, Ki? Kau kelihatan sedih sekali," tegur Pandan Wangi.
"Kalian tahu, untuk apa Paturakan mencarimu, Rangga?" kata si Gembel Bungkuk.
"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi.
"Dia harus bisa membawamu pada Ratu Pelangi Maut di Gunung Tambur untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Itulah satu-satunya syarat agar dia bisa menyunting Ayu Dewi Winarti putri Gusti Adipati Bayangkala." si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan gamblang.
"Edan...!" desis Pandan Wangi geram.
"Memang begitulah tingkah si Tangan Api. Dia merebut Kadipaten Kuring ini hanya untuk mempersunting Ayu Dewi Winarti. Padahal, kalau dilihat dari usianya, dia lebih pantas menjadi ayahnya. Dia sudah terlalu tua untuk Ayu Dewi Winarti. Tapi dia tetap saja menginginkan gadis itu untuk dijadikan istrinya."
"Tidak tahu malu!" dengus Pandan Wangi.
Rangga sendiri diam saja. Dia mencerna semua kata-kata yang diucapkan si Gembel Bungkuk. Sungguh tidak disangka bahwa kedatangannya ke Kadipaten Kuring ternyata memang diharapkan sekali. Tapi, yang tidak bisa dimengertinya, si Tangan Api menginginkan dirinya untuk dijadikan barang pertukaran. Hal itu sangat menyinggung dan merendahkan martabatnya. Meski begitu, Rangga harus bisa menahan diri dulu. Dia tidak ingin termakan kata-kata dari satu orang saja. Dia harus menyelidiki terlebih dahulu, apa yang terjadi sebenarnya.
"Aku jadi ingin tahu, seperti apa si Tangan Api itu," desis Pandan Wangi geregetan.
"Dia bukan orang sembarangan, Pandan. Ilmu olah kanuragan dan kesakitannya tinggi sekali. Rasanya sukar dicari tandingannya, kecuali..." si Gembel Bungkuk tidak meneruskan ucapannya. Dia melirik pada Rangga, yang tetap saja berdiam diri.
"Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa hanya Kakang Rangga yang bisa menandinginya, Ki?" tanya Pandan Wangi langsung bisa menebak isi hati laki-laki tua bungkuk itu.
"Sekarang ini, tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi ilmu kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, Rangga pasti bisa menandingi si Tangan Api itu," sahut si Gembel Bungkuk mantap.
Pandan Wangi melirik sedikit pada Rangga. Sedangkan Rangga masih diam membisu. Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Tak ada seorang pun yang bisa menduganya. Bahkan Pandan Wangi pun, yang kerap kali mendampinginya, tidak mampu menebak jalan pikiran dan isi hari pemuda tampan itu.
Rangga bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun. Dia melangkah keluar dari pondok kecil di tengah-tengah ladang perkebunan ini. Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi. Sedangkan Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira masih tetap berada di dalam pondok kecil itu. Dan, Rangga terus melangkah menjauhi pondok. Dia baru berhenti setelah sampai di tepi sungai yang mengalir jernih. Ternyata si Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya yang tengah melepas dahaga di tepian sungai itu.
"Kita menghadapi persoalan yang tidak ringan sekarang ini Dewa Bayu. Aku benar-benar sulit untuk menentukan keputusan. Aku tidak tahu, mana yang harus aku ambil," kata Rangga kepada kudanya.
Kuda hitam Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengus beberapa kali. Seakan dia bisa mengerti semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, Rangga mengelus-elus leher kuda hitam itu dengan penuh kasih sayang.
"Kau tahu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Dewa Bayu...?"
Dewa bayu menghentak-hentakkan satu kaki depannya ke tanah. Diangkatnya pula kepalanya tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia meringkik keras memekakkan telinga.
"Hup...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung kudanya. Sekali lagi kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Ringkikan kuda yang sangat keras itu membuat orang-orang yang ada di dalam pondok bergegas ke luar. Mereka terkejut sekali melihat Rangga sudah memacu kudanya dengan cepat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Kakang...! Mau kemana kau...?" teriak Pandan Wangi sekuat-kuatnya.
Tapi, Rangga sudah begitu jauh. Kemudian dia menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira hanya bisa memandangi kepulan debu yang ditinggalkan Dewa Bayu.
"Mau ke mana dia?" tanya si Gembel Bungkuk, seperti kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
72. Pendekar Rajawali Sakti : Korban Ratu Pelangi
ActionSerial ke 72. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.